“DEFENSE! TAHAN ERIC!”
Eric
berlari ke arahku, menggiring bola dengan lincah. Samuel mencoba menahannya,
tapi ia terus berlari dengan lincah. Sekarang tinggal satu lawan satu denganku.
Semua terserah padaku sekarang. Aku bergerak maju, membentangkan tanganku,
menutup ruang geraknya. Eric menganyunkan kakinya, menendang. Aku menerkam…
BUAK!!!
Gelap…
“Dit…
Dit lu gapapa?”
“Oi… Dit…”
Perlahan,
aku membuka mataku… Wajah teman-temanku bergetar dan tampak kabur dalam
pandanganku. Aku mengerjapkan mata, saat itulah aku merasakan linu yang amat
sangat di selangkanganku. Sangat menyengat dan berdenyut-denyut rasanya. Eric
juga menunduk di atasku. Wajahnya pucat pasi.
“Hei,
man… Lu… Lu gapapa kan? Gue tadi ga sengaja… Abis…” katanya tergagap.
“Enak aja ga sengaja! Kan udah jelas dia bakal loncat ngambil bola! Kenapa lu
tetep hajar sekenceng itu?!” Chris naik pitam, mendorong bahu Eric.
“Tapi… Gue emang ga sengaja!”
“Alaahhh…!!”
“Hei…”
Semua
menoleh ke arahku.
“Chris,
udalah… Gue gapapa koq. Tadi lengah juga… Ric, gapapa… Gue tau lu ga sengaja…”
kataku menghibur. Mataku berair menahan sakit. Perutku mual. Teman-teman tim
futsalku berusaha menolongku berdiri. Aku berdiri dan melangkah tertatih-tatih
kea rah gawang. Sakit sekali rasanya. Eric benar-benar mengerahkan kemampuan
penuhnya tadi.
Hari
itu aku dan teman-teman tim futsalku sedang bertanding melawan tim dari
kompleks lain. Lapangan futsal di dekat rumahku yang biasa kami sewa sedang
mengadakan kejuaraan futsal. Hari itu pertandingan terakhir penyisihan grup.
Sebenarnya kedua tim yang bertanding hari itu sudah pasti lolos; kami hanya
memperebutkan posisi juara grup, karena bila kami mendapat posisi runner-up,
lawannya adalah tim yang sangat jago dari grup lain. Terus terang, kami agak
ngeri melawan tim itu.
Saat
ini skor imbang 5-5… Pertandingan tinggal tersisa 2 menit lagi. Jika posisi
tetap seperti ini, kamilah yang akan lolos sebagai juara grup. Tapi dalam 2
menit terakhir ini tim Eric terus memborbardir gawang yang kukawal.
“Hei…
Lu gapapa? Masih bisa maen lagi? Tinggal 2 menit koq…”
Aku
mengangguk, berusaha menegakkan badanku di bawah mistar gawang. Pandanganku
agak kabur saat ini. Pertandingan dilanjutkan…
* * *
Aku
berjalan perlahan-lahan ke arah rumahku. Selangkanganku masih sakit rasanya.
Aku mengernyit, jengkel. Saat pertandingan tinggal tersisa 30 detik, sebuah
umpan silang dari kanan kotak penalti timku diteruskan Eric dengan sebuah
sundulan cantik. Aku benar-benar terkecoh. Akhirnya tim lawan menang 6-5, dan
mereka menjadi juara grup.
Aku
menggelengkan kepala. Susah sekali berkonsentrasi hari ini, apalagi setelah
terkena tendangan bola futsal yang sangat keras tepat di penisku… Urgh!
Aku
menggelengkan kepala lagi. Sebenarnya sudah sejak awal pertandingan aku sulit
berkonsentrasi. Pikiranku terpaku pada adikku Vany… Terutama apa yang
dilakukannya tadi pagi.
Tadi
pagi, Vany harus berangkat ke sekolah karena ia menjadi ketua panitia MOS (Masa
Orientasi Siswa) di sekolah. Hari ini para siswa-siswi SMP baru sudah harus
masuk ke sekolah untuk menjalani masa orientasi, dan Vany harus menyiapkan
segala sesuatunya dengan baik. Sebelum pergi, pagi-pagi sekali, Vany
membangunkanku dengan ciuman nakal perlahan di leherku. Saat aku terbangun, aku
melihat adik kecilku yang imut itu tersenyum manis, dengan kancing kemeja
seragam sekolah yang tidak dikancingkan dan bra merah muda berenda yang
diangkat. Dadanya yang besar menggelayut menggiurkan di hadapanku. Sekejap
kemudian Vany sudah menjepit penisku dengan kedua dadanya yang empuk, memijat
dan meremasnya perlahan. Aku yang terkejut hanya bisa menikmati sensasi luar
biasanya. Tak butuh waktu lama bagiku untuk meledakkan sperma kentalku
berkali-kali melumuri wajahnya yang imut. Setelah membersihkan wajahnya, Vany
tersenyum puas, mengecup bibirku, kemudian pergi ke sekolah.
Bayangan
akan apa yang terjadi pagi itu terus terngiang di kepalaku, bahkan saat
pertandingan futsal sedang panas-panasnya sore itu. Mungkin itu yang membuatku
dapat kebobolan hingga tujuh gol. Gila…
Lagipula…
Sakit sekali... Bagaimana jika aku tidak dapat tegang lagi untuk seterusnya?
Apa kata Vany? Grace? Cherry?
Langkahku
gontai melintasi halaman rumah. Aku membuka pintu depan rumah. Sepi, kedua
orang tuaku sedang menghadiri acara keluarga besarku di Semarang selama
seminggu. Aku membanting sepatu futsalku di tempat sepatu, mendaki tangga
dengan lemas menuju kamarku, membanting tas dan sarung tangan kiperku, melepas
semua pakaianku, kemudian melangkah ke kamar mandi. Aku ingin cepat-cepat mandi
air panas. Tanpa memperhatikan apa-apa, aku membuka pintu kamar mandi. Aku
tertegun.
Vany
sedang mandi dengan santainya. Tampaknya ia tak sadar aku membuka pintu kamar
mandi. Vany bermain-main dengan air dari shower, menggosok lengan, leher,
pantat, dan tentu saja dadanya yang besar menggiurkan.
“V…
Van?”
Vany
melonjak kaget. Ia berbalik, melihat kakaknya yang juga telanjang bulat berdiri
di hadapannya.
“Eh…
Kak? Koq ga ngetok dulu?” tanyanya gugup.
“Hah? Oh… Oh iya… Sory tadi kakak pikir ga ada orang…”
“Oh… Hahaha ya namanya kan kamar mandi bareng… Ketok dulu lah…” jawabnya
santai. “Gimana futsalnya?”
“Kalah…6-5… Jadi runner up…” jawabku lemas. “Udah gitu punya kakak ketendang
bola kenceng banget lagi… Jarak dekat…”
“Hah??! Oh ya?” ujar Vany terkejut. Ia memperhatikan penisku. “Tapi… Koq…
Kayaknya gapapa ya…” lanjutnya. Aku menangkap nada geli dalam suara manisnya.
“Ya iyalah gapapa…. Dasar…” memang saat itu penisku sudah kembali tegang
setegang-tegangnya. Segala pikiran tentang apakah aku dapat tegang lagi sirna
sudah saat aku meihat tubuh Vany yang basah kuyup sedang mandi.
“Eh…
Mm… Jadi…” kata Vany.
“Hah? Oh…” aku tersenyum. “Mau mandi bareng?”
Vany
nyengir.
“Dasar
nakal…” bisiknya. Tapi ia membukakan juga pintu kaca pembatas ruang shower. Aku
masuk, dan seketika itu juga hangatnya air membasahi tubuhku. Damai dan tenang
sekali rasanya.
Vany
merapatkan dirinya ke arahku. Dadanya yang besar menekan tubuhku, kenyal dan
empuk sekali rasanya. Vany mengusap perlahan punggungku.
“Mau
aku sabunin, Kak?” tawarnya. Aku mengangguk.
Ia
mengambil botol sabun cair, menuangnya ke atas telapak tangannya, kemudian
mengusapnya perlahan di punggungku. Aku menunduk, memandang adikku. Vany
mendongak, tersenyum. Kami saling bertatapan beberapa lama. Perlahan, Vany
mendekatkan bibirnya ke arah bibirku. Aku menyambutnya lembut. Sangat perlahan,
kami berciuman. Lidah Vany menusuk ke dalam mulutku dan membelit lidahku. Suara
decak ciuman kami semakin lama semakin nyaring. Ciuman kami semakin panas, tapi
masih dalam gerakan yang sangat perlahan.
Aku
menjulurkan kedua tanganku, meremas pantatnya yang kencang dan bulat. Dalam
benakku aku sungguh ingin meng-anal adikku ini suatu hari nanti. Vany
menekankan dadanya semakin kencang ke arah tubuhku. Aku dapat merasakan
putingnya yang mengeras, seksi sekali.
“Gimana
MOS?” kataku saat ciuman kami terlepas. Aku bertanya sambil meremas-remas
dadanya yang besar. Empuk dan kenyal sekali. Rasanya sungguh berbeda dengan
dada cewek-cewek lain.
“Seru… Tapi anaknya pada susah diatur… Bandel-bandel…” katanya sambil
memanyunkan bibir. Aku tertawa.
“Haha.. Bandel mana sama kamu? Hm?”
“Aah Kakak…” bisiknya manja. Tangan mungilnya sudah berpindah mengusap bagian
depan tubuhku sekarang. Aku memainkan putingnya yang telah sangat keras.
Kujilati putting kirinya yang sensitif, sementara tangan kiriku meremas dada
kanannya dengan nafsu. Vany memejamkan menikmati. Perlahan, tangannya bergerak
ke arah penisku yang sangat tegang. Vany jongkok, menghadapi penisku sambil
mengusapnya perlahan dengan sabun.
“Aduh
kacian… Kamu tadi kena bola ya?” Vany berbicara pada penisku, seolah berbicara
pada anak kecil yang lucu. Ia mengusap-usapnya, mengocoknya perlahan. Enak
sekali.
“Mmhh… Van… Tuh kan… Bandel kamu…” desahku.
Vany
nyengir. Ia membiarkan air dari shower membilas sabun dari penisku hingga
bersih. Ia menjilat-jilat penisku dengan perlahan, dari pangkal hingga
ujungnya.
“Aku
sedot ya, Kak? Biar ilang sakitnya…” katanya sambil mendongak memandangku. Aku
mengangguk.
Vany
segera memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan, ia menggerakkan
kepalanya maju, memasukkan semakin banyak bagian dari penisku kedalam mulutnya.
“Van..
Mmhh… Van ati-ati keselek…”
Vany
terus memajukan kepalanya. Aku melihat semakin lama ia semakin kesulitan. Saat
¾ bagian penisku sudah masuk, aku merasa kepala penisku telah menyentuh leher
dalamnya. Vany memainkan lidahnya di bagian bawah penisku. Enak sekali.
“Aaahh…
Vann.. Van.. Terus gitu… Mmmh…”
Vany
menyedot semakin kencang. Gerakan kepalanya pun semakin cepat maju mundur.
Lidahnya terus bergerak berputar-putar di bagian bawah penisku, menjilat
pangkalnya. Aku tak tahan lagi.
“OOOHH..
VAANN… Ka… Kak mau… Keluarrr… MmmmHH!!!”
Aku
meledakkan spermaku ke dalam mulutnya. Mulutnya yang mungil tak sanggup menahan
semprotan yang begitu kencang. Vany melepaskan sedotannya, membuat semburanku
beralih melumuri wajahnya dengan cairan putih kental.
“Ooh…
Vaan… Van…” desahku keenakan.
Aku
bersandar lemas ke tembok kamar mandi. Vany membiarkan semburan air dari shower
membersihkan mukanya. Enak sekali rasanya. Penisku masih tegang, seperti 2 kali
sebelumnya, tak cukup hanya sekali aku merasakan kenikmatan adik kecilku ini.
Vany
memelukku. Dadanya yang empuk menekan tubuhku. Gejolak antara akal sehat dan
nafsu kembali berkecambuk di benakku. Tapi memang nafsu selalu menang. Aku
sudah melangkah sejauh ini… Aku rasa sudah terlambat untuk berputar kembali.
Aku menunduk, menatap Vany yang balas menatapku. Dari sorot matanya, aku tahu
bahwa nafsu juga telah menguasainya.
Tanpa
sepatah kata pun, aku membalikkan badannya ke arah dinding kamar mandi. Seolah
tahu apa yang hendak kulakukan, Vany meletakkan kedua tangannya pada tembok
untuk bertumpu, berjinjit, mengangkat pinggulnya, menyerahkan sepenuhnya
vaginyanya untukku.
Aku
mengarahkan penisku, meletakkannya di belahan pantatnya yang montok. Sesaat,
aku ingin mengawali semuanya dengan meng-anal Vany, tapi sesaat kemudian aku
telah menggeser perlahan kepala penisku ke arah bibir vaginanya yang bersih tak
berambut. Kumain-mainkan bibir vaginanya dengan kepala penisku; kuusap
perlahan, lembut.
“Mmh…
Kak… Masukin aja langsung…” pintanya.
Aku
setuju. Kumasukkan perlahan kepala penisku. Vany berjengit pelan. Aku merasakan
ketegangan mengaliri tubuh adikku.
“Kamu
yakin, Van?” tanyaku.
Sekali
lagi, logika berteriak-teriak di pikiranku. DIA INI ADIKMU! SADAR! Aku yakin
suara yang sama juga berteriak, menggedor-gedor akal sehat Vany. Tapi saat itu
kulihat anggukan perlahan tapi mantap dari adik kecilku ini. Keraguanku sirna.
Perlahan,
tak ingin menyakiti, aku menusukkan penisku ke dalam vaginanya. Vany mengejang.
Aku memasukkan semakin dalam, sudah masuk ¼ bagian sekarang. Sempit sekali…
Agak sulit.
“Mmmhh…
Aaahh… Aaa… Aaahhh Kak… S… ” Vany mendesah. Aku tahu pasti terasa agak sakit
untuknya.
“Kalo
sakit kasi tau Kakak ya…” bisikku. Vany mengangguk. Aku memasukkan semakin
dalam. Kepala penisku menyentuh selaput tipis. Keperawanan Vany dipertaruhkan.
Sekali lagi aku bertanya.
“Kamu
bener-bener yakin…?”
Vany
tidak menjawab. Tiba-tiba ia mendorongkan pantatnya ke arahku dengan kencang.
Selaput daranya robek, penisku benar-benar masuk ke dalam vaginanya.
“AAAHHH….!!!!”
Jeritnya kencang. Vany mengakhiri masa perawannya… Di usia 14 tahun. Aku
melirik ke bawah, darah segar mengalir pelan dari arah selangkangannya,
mengalir turun melalui pahanya.
“Oohh…
Oohh… Masuk… Hh… Aku… Dimasukin… Ka…kak… Aaahh… Gede banget… Hhh…” desahnya,
seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Wajah
Vany merah padam. Nafasnya tersengal. Aku tahu betapa sakitnya saat pertama.
Aku membelai rambut pendeknya perlahan.
“Kalo
udah ga sakit bilang ya sayang…” bisikku lembut.
“…. Mmh… Terusin aja Kak…” pintanya. “Pelan-pelan…”
Aku
memasukkan penisku semakin dalam perlahan-lahan. Luar biasa sempit dan hangat
di dalam. Vagina Vany seolah menjepit penisku. Aku terus memasukkan penisku
hingga kepalanya menyentuh ujung vagina Vany. Vany memiliki vagina yang sangat
dalam untuk cewek semungil dia.
“Siap?”
tanyaku. Vany tersenyum, mengangguk.
Kutarik
penisku hingga setengah jalan, dan dengan kekuatan penuh aku menghujamkannya
kembali ke dalam.
“Aaahh!!!
Aaahh… Kakk!! Pelan… Pelaa… AANN!! Oohh… Aaahhh!!!” Vany menjerit-jerit
keenakan. Aku menggerakkan pinggulku dengan kuat. Pikiranku semakin kabur.
Realitas bahwa cewek yang sedang kusetubuhi sekaran adalah adikku sendiri
sedikit demi sedikit hilang lenyap.
“Ooohh…
Vaaannn… Kam…u… Sempit bangeeett… Aaah… Mmmhh!!” desahku. Aku menjangkau,
meremas-remas dadanya yang menggelayut, berguncang-guncang seirama hantaman
penisku.
“Kaa… Aaahhh… Kakak… punya… Aaahhh… Kakak punya yang… Mmmhh!! Kegede… ann…
aahhh… Mhhh!!” jawabnya tak mau kalah.
Vany
mengeratkan jepitan vaginanya. Enak sekali! Penisku seperti dipijat-pijat di
dalam sana.
“Aaahh…
Aaahhh… Mmmmhh!!! Mmmnn… Kaak… Ohh kakk…” desahnya setiap kali penisku
menghujam ke dalam vaginanya. Pinggulku seakan bergerak otomatis, tak bisa
berhenti. Sempit dan hangatnya vaginanya, dipadu dengan sensasi empuk pantatnya
yang menghantam-hantam pinggangku sungguh tak dapat dilukiskan dengan
kata-kata.
Aku
menggerakkan pinggulku semakin cepat. Kepala penisku menghantam-hantam mulut rahim
Vany.
“Aaahhh!!!
Kaakk… Kaa… Ooohh… Tambah… Gede… Aaahhh!!! Kakak tambah ged…eee… Lagi di…
Aaahhh!!! Aaahhh!! Di dalem…MMMHHH!!! Kaaakkk!!!” Vany menjerit-jerit. Nafasnya
sudah tak beraturan sekarang. Aku semakin kencang menggerakkan pinggulku. Suara
pantatnya yang menghantam pinganggku menggema di kamar mandi.
“KAAKK!!
KAA…KKK… LEPAS! LEPAS! LEPAAsss!! Aaakkuu… Mau… Kelu… AAARR!!!” Vany tiba-tiba
berteriak. Aku terkejut, segera menarik lepas penisku dari vaginanya yang
sempit. Seketika itu juga Vany menyembur-nyemburkan cairan vaginanya.
Semprotannya kencang sekali dan berkali-kali. Vany merosot ke lantai, badannya
gemetar hebat. Orgasme pertamanya sungguh dahsyat.
Tak
menunggu lama, aku berlutut di belakangnya, kutunggingkan pantat Vany dengan
kedua tanganku. Jempolku menarik bibir vaginanya lebar, dan penisku langsung
menghujam dengan kuat untuk kedua kalinya ke dalam tubuh Vany. Lebih mudah
sekarang, apalagi setelah squirting hebat tadi, vagina Vany menjadi sangat
becek dan licin.
“Aaahhh!!!
Kaaakkk… Kak! Kak… Kakk… Nnnhhh!!” Vany menjerit.
Buah
pelirku menyenggol-nyenggol klitorisnya, membuat Vany semakin kegilaan
menikmati seks pertamanya. Aku menggerakkan pinggulku dengan sangat cepat,
menghantam bagian dalam vaginanya dengan kuat. Vany kembali mengencangkan
vaginanya.
“Aah…
aahhh… Aaahhh… aa… Kaak… Oohh… Ooohh… Enak… Bangett… Mmm… Nnnhh!!!” desahnya.
Aku rasa saatku sudah semakin dekat.
“Ooohh... Vaaann... Kakak... Mau... Keluaarr... Mmmhhh... Mmmmhh... Aaahh...”
kataku, tecekat. Vaginanya terasa begitu sempit dan nikmat.
“Aaahhh... Aaahhh... Kuarin... Di luar... Kaakk... Diluar kakk!!! Aaahh!!”
pintanya.
“OOOHH!! VV... VVAANNN!!!!”
Aku
mencabut penisku, menjepitkannya di antara kedua pantatnya yang kencang.
Ccrroooottt!!! Crrooouuuttt!!! Crruuoottt!!!! Aku meledakkan spermaku
berkali-kali dengan kencang, melumuri punggung dan pinggulnya, bahkan ada
beberapa semprotan yang mengenai belakang kepalanya.
Vany
terkulai, bernafas tersengal-sengal. Aku berlutut, melirik ke bawah dan
terkejut. Penisku masih sangat tegang. Tubuhku seakan terus meminta tubuh Vany
lagi dan lagi. Sebelum ini belum pernah aku masih tegang setelah dua kali
keluar.
“Van…
Lanjut di kamar aja yuk…” ajakku.
“Kakak... Hhh... Mas...Ih.. Bisa lagi?” tanyanya, tersengal. Aku mengangguk, dengan
keheranan yang sama dengannya.
“Kamu masih kuat?”
Vany
mengangguk lemas, masih terengah-engah dan gemetar.
Kumatikan
shower. Aku mengambil handuk untuk mengeringkan badanku, kemudian kuselubungkan
handuk itu ke tubuh mungil Vany yang gemetaran. Kubantu mengeringkan badannya.
Kuangkat,
kugendong adikku ke kamarku. Kubaringkan ia dengan lembut di ranjangku. Aku
naik ke ranjang, menunduk di atas tubuhnya. Nafas Vany sudah lebih teratur
sekarang, ia menatap mataku. Dadanya yang besar bergerak naik-turun seiring
tarikan nafasnya.
“Lanjutin
Kak…” katanya sambil tersenyum. Tanpa kusuruh, ia mengangkat pahanya,
mengangkang sangat lebar di hadapanku.
Aku
mengarahkan penisku ke bibir vaginanya. Untuk ketiga kalinya, kumasukkan
penisku ke dalam vaginanya yang sempit. Vaginanya yang semit seperti menyedot
penisku ke dalam. Vany menggeliat, menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya
mencengkeram seprei dengan erat.
Perlahan,
kuhujam-hujamkan penisku ke dalam vaginanya. Tarik, masukkan, tarik, masukkan.
Semakin lama semakin kuat, semakin lama semakin cepat.
“Aaahhh...
AAHH!!! Teruss... Teruss...!! Terus kakk... Aaahhh!!! Ooohh Kaakk!!!” Vany
mendesah liar. Matanya terpejam, menikmati.
Sambil
terus menghujamkan penisku, aku meremas dadanya. Tak cukup, aku membenamkan
wajahku di antara dua bantalan besar yang empuk itu. Jemariku memainkan
puting-putingnya yang tegang.
“Kamu...
Makan apa sih... Mmhh... Vann... Koq bisa... Mmmmhh... Gede gini?” tanyaku.
“Aaahh... Aaahhh... Gata...Uu... Mmm... Tau... Tau tau... Gede... Aaahhh...”
jawabnya asal-asalan. Kujilati puting kirinya. Kusedot kuat-kuat, setengah
berharap akan merasakan susu yang manis menyemprot dari dalam dadanya yang luar
biasa itu. Vany meringis, cengkraman tangannya di seprei semakin erat.
“Aaahhhh!!!
KaaKkk....!!! Maauu... Keluar... Lagggiiii!!! AAAHHH!!!” Vany berteriak.
Squirting untuk kedua kalinya, penisku seperti disemprot cairan dingin. Aku tak
peduli, kugerakkan pinggulku semakin cepat. Vany mengangkat pahanya,
membantuku. Aku mencengkeram erat pinggangnya, menggerakkan tubuhnya seirama
hantaman penisku. Vaginanya semakin mengencang.
Tiba-tiba,
bagian dalam vagina Vany seperti bergerak memijat penisku kuat-kuat dengan
bergelombang. Aku belum pernah merasakan sesuatu yang seperti ini! Terkejut,
aku memperlambat genjotanku.
Aku
mendongak, menatap wajah Vany yang merah padam. Dari sorot matanya aku tahu ia
dengan sadar melakukan yang terakhir itu.
“Van...
Va... Gimana... Yang... Ooohh yang tadi itu enak banget!!! Aahh...” kataku.
Vany nyengir lemah. Dadanya mengayun-ayun mengikuti irama gerakan pinggulku.
“Kakak... Aaaahhh... Kak... Mau... Aaahhh... Mau lagi?” godanya. Aku mengangguk
cepat-cepat. Vany nyengir semakin lebar.
“Tapi.. Tapi kalo kamu gitu lagi... Kakak bisa-bisa gak keburu ngeluarin di
luar...” kataku, agak cemas.
“Gapapa Kak... Yang tadi itu... Mmmhh... Aku juga enak banget... Gapapa...
Keluarin di dalem aja... Nnhh... ” katanya.
“Hah? Ntar... Ntar kamu...”
“...Gapapa...”
Aku
tahu ini gila. Vany memintaku mengeluarkan spermaku di dalam tubuhnya.
Bagaimana kalau dia hamil? Apa kata orangtuaku?
Tapi
saat logika mulai merasuki pikiranku lagi, Vany menggerak-gerakkan pinggulnya.
Aku seperti otomatis kembali menghujamkan penisku ke dalam vaginanya, menendang
jauh-jauh logika.
Gerakan
pinggulku semakin cepat dan cepat. Vany semakin mengencangkan vaginanya. Aku
yakin tak lama lagi aku akan keluar jika seperti ini terus.
“Aaahhh....
AaahH!!!... Kak... Kaakk... Siaap? Aahhh... Aaa...” tanyanya. Aku mengangguk
liar, semakin mempercepat genjotanku. Vany menegang, berkonsentrasi. Gerakanku
semakin liar. Nafas kami memburu, tak beraturan.
Dan
sensasi itu datang lagi! Vaginanya seakan menyedot penisku, dan gelombang yang
sangat kuat berkali-kali datang memijat penisku. Aku tak tahan lagi, sensasi
ini sungguh luar biasa!
“Vann!!
OOH Vaannn!!! Kakak mau... Aaaahhh... Aaahh!!! VAANN!!! Ke...KELUAR!! Aaahh...
Aaahhh!!!” pikiranku mengabur. Mataku berair.
“DI DALEM!! DI... AAHHH!!! Di daleemm...Keluarin di daleeemm!!!” jeritnya.
“VVVVVVAANN....VVAANNYY!!!!!!”
Aku
meledakkan spermaku sekuat-kuatnya ke dalam rahim Vany. Aku keluar jauh lebih
banyak dari yang sudah-sudah. Satu-dua-empat-enam... Penisku seakan tak mau
berhenti meledakkan spermanya. Enak sekali, hangat sekali. Vagina sempit Vany
tak cukup menahan muatan sperma kakaknya. Cairan putih itu mengalir keluar,
melumuri bahkan penisku sendiri, mengalir membasahi sepreiku...
Aku
mencabut penisku. Sudah lemas sekarang. Rasanya agak linu, keluar tiga kali
berturut-turut. Cairan putih kental masih mengalir keluar dari vagina adikku,
terlihat seksi sekali. Vany tergeletak lemas di ranjangku. Matanya separuh
terpejam. Mulutnya menganga kecil. Keringat membanjiri tubuh kami.
Aku
merebahkan diri di sebelahnya, terengah-engah.
“Van...
Hhh... Thanks...”
“Iya... Aku yang thanks... Hhh...” bisiknya. “...Enak banget...”
Terdiam,
hanya suara tarikan nafas terengah kami yang terdengar. Berapa lama kemudian,
aku menoleh menatap adikku yang seksi ini.
“Van...
Kalo kamu hamil gimana? Kakak keluar banyak banget loh tadi di dalem kamu...”
tanyaku, cemas.
“Gapapa... Nanti menikah sama kakak...”
“Ngawur kamu...”
Vany
tertawa. Terdiam lagi. Aku memejamkan mata, belum pernah aku merasakan seks
seenak ini.
“Kamu belajar dari mana yang terakhir tadi itu?”
“Gatau... Tau-tau bisa aja...”
“Ohya? Itu enak banget...”
“Lebih enak dari Kak Grace?”
“Jauh...”
Kami
terdiam.
“Kak...”
“Ya?”
“Mulai sekarang... Kalo kakak pas pengen ML... Kasi tau aku...” katanya. “Aku
sepenuhnya milik kakak...”
Aku
terdiam. Tak bisa menjawab. Dalam hati aku tahu kami sudah melanggar semua
batas dan nilai yang normal. Tapi kenikmatan ini sungguh luar biasa.
“Papa-Mama
kan pergi seminggu...” kataku. “...Banyak kesempatan...”
Vany
tertawa.
“Ya...”
katanya. “Ntar malem lagi?”
“Kalo kuat...”
“Besok?”
“Sepanjang hari...”
Vany
tertawa lagi. Tawa yang renyah dan imut. Ia berguling, memeluk lenganku dengan
sayang.
“Van...”
“Hm?”
“Kapan-kapan... Coba anal yuk...”
Vany
nyengir.
“Yuk...”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar