30 November 2008, 18.05
Aku berjalan, setengah berlari, ke arah tempat
pengambilan bagasi. Jas hitamku berkibar diterpa angin. Kebetulan aku mendapat
kursi tempat duduk terdepan di pesawatku pulang, sehingga imigrasi pun kulalui
dengan cepat (tidak perlu ngantre).
Sekitar sepuluh menit kemudian, sebuah koper
hitam besar bergaris cokelat muda muncul di conveyor belt. Segera kuambil
koperku, kuletakkan di atas troli bersama ranselku, dan mulai berjalan, sedikit
tergesa, ke arah luar. Hatiku berdebar-debar mencari wajah yang kukenal.
Dan di tengah kerumunan orang yang menunggu
kerabat, teman, atau kenalan yang datang hari itu dari Singapura, aku melihat
wajah ibuku; tersenyum cerah melihat anak sulungnya, melambai bersemangat.
Ayahku di belakangnya, tinggi menjulang, nyengir melihatku. Di sebelahnya...
Jantungku seolah berhenti berdetak
Vany berdiri di samping ibuku, nyengir sangat
lebar. Rambutnya yang dulu sangat pendek-kaku sekarang panjang terurai sebahu.
Pipinya yang tirus sekarang menjadi agak chubby, tapi justru membuat wajahnya
menjadi cantik dan anggun sekali; hanya sedikit tersisa kesan
kekanak-kanakannya. Adikku mengenakan t-shirt hijau muda, ditutupi cardigan
warna broken white, dan celana putih selutut. Perutnya yang buncit tampak jelas
menyembul keluar, dan tentu saja... dadanya... astagah, apa tambah besar lagi?
Aku melihat pandangan beberapa orang di sekitar
Vany yang agak heran, karena bagaimana pun tampang adikku masih seperti anak
kecil, tapi jelas sedang mengandung. Tapi aku tak peduli, dan aku tahu Vany
juga tidak peduli. Belum sampai aku ke pembatas yang memisahkan penjemput dan
orang yang dijemput, Vany sudah berlari menghambur dan memelukku erat-erat.
Aneh rasanya, ada yang mengganjal di bagian perut. Tapi aku pun memeluk erat
adikku.
“Kaaaaakkkkk... I miss you soo muchhh!!” ujarnya
tulus. Aku tertawa dan membelai rambutnya.
“I miss you too, Hunny...”
Kami melepas pelukan, dan aku memandangi adikku
yang berseri-seri, dan tentunya memperhatikan perutnya yang buncit. Ia memukul
lenganku.
“Koq ngeliatnya kayak gitu?” tanyanya geli.
“Masih heran ngeliat kamu hamil...” kataku
jujur. Vany terbahak.
“Mau pegang ga?” katanya, menyodorkan perutnya.
Aku mengulurkan tanganku, entah kenapa agak
gemetar, dan dengan canggung mengelus perut Vany. Bulat dan mulus sekali
rasanya. Vany tertawa lagi, menyadari kecanggunganku. Ia menggamit lenganku
dengan sayang dan kami berjalan ke arah kedua orangtua kami.
“Apa kabar, Dit?” kata ibuku sambil mengecup
pipiku.
“Baik banget, Ma,” kataku, kupeluk beliau erat.
Ayahku menonjok lenganku perlaan. Aku nyengir dan merangkulnya. Tinggi kami
hampir sama sekarang.
“Welcome home,” katanya. Aku mengangguk dan
tersenyum cerah. Memang tak ada yang mengalahkan Jakarta sebagai rumahku.
Banyak hal yang berubah di keluarga ini, tapi aku bersyukur karena kasih sayang
tidak berubah di antara kami.
Kami berempat berjalan keluar gedung terminal ke
arah mobil. Ayah dan ibuku di depan, aku mendorong troli sambil merangkul
pinggang Vany di belakang mereka.
“Kamu bedaaa banget...” kataku pada Vany.
“Hm? Beda gimana?” tanyanya.
“Beda deh... Rambutnya, semuanya...”
Aku tak mampu menjelaskan dengan kata-kata.
“Tambah cakep ga?”
“Tambah besar,” bisikku. Vany tertawa
terbahak-bahak.
“Dasar Kakak...”
Sambil memelankan suaraku, aku bertanya, “Eh
kejutannya apa?”
Vany nyengir nakal dan berkata, “... Ntar malem
aja di kamar.”
* * *
Rumahku, 22.00
“... Jadi kalo nurut aku sih antara kru pit stop
yang lain sama yang kasi aba-aba untuk jalan ada salah paham.”
“Terus Massa langsung jalan aja gitu?”
“Ya. Langsung tancep gas, selang bensin masih
nempel padahal. Jadi orang yang bagian ngisi bensin langsung kebanting gitu.”
“Hooo... Wah seru ya.”
Kami sekeluarga sedang duduk-duduk di sofa ruang
tengah rumah kami, menonton pertandingan Manchester United vs Manchester City
di TV sambil berbagi cerita. Aku sedang menjelaskan kepada ayah, ibu, dan Vany
tentang insiden Felipe Massa yang menarik selang bensin dan membuat salah
seorang kru Ferrari terpelanting pada balapan F1 di Singapura bulan September
lalu. Kebetulan aku mendapat free pass untuk masuk ke area tribun VIP karena
aku magang sebagai stage crew untuk acara di F1 Executive Lounge. Tempat
dudukku sangat dekat dengan area pit stop, sehingga dapat melihat insiden Massa
dengan sangat jelas.
“Sayang ya... Padahal kalo ga ada kejadian itu
dia bisa menang ya,” kata ayahku.
“Iya... Jadi yang menang Alonso deh...” jawabku.
Kami terdiam. Vany duduk bersandar di sebelahku
sambil mengelus-elus perutnya. Entah kenapa setiap kali melihat perutnya yang
buncit, penisku mulai menegang (aku segera menggeser bantal untuk menutupinya).
Badanku memang lelah sekali malam itu, tapi hatiku masih ingin mengetahui
kejutan yang Vany siapkan bagiku. Seolah mengerti pikiranku, Vany nyengir dan
menegakkan tubuhnya.
“Hmmmh...” Vany menghela nafas dan berdiri
perlahan.
“Oh ya udah jam 10 ya...” kata ibuku, tersadar.
“Ya. Aku naik dulu deh ya, Pa, Ma...” ujarnya.
Ia menoleh, menatapku dengan penuh arti. “Besok sekolah juga kan.”
“Ah ya... Aku naik juga deh ya...” kataku,
mengetahui maksud Vany. “Capek juga.”
Ayah ibuku tidak menjawab, saling berpandangan.
Dalam hati aku sepertinya mengerti apa yang mereka pikirkan.
Kami sudah setengah jalan menaiki tangga ketika
tiba-tiba ayahku memanggil.
“Kak, Dik,”
“Ya?” jawabku dan Vany berbarengan sambil
menoleh. Ibuku yang melanjutkan.
“... Jangan sampe kemaleman ya kalian maennya.
Vany inget Kakak baru pulang, pasti capek. Kamu juga besok sekolah kan,” ujar
beliau.
Terdiam sejenak, aku dan Vany saling
berpandangan.
“Iya Ma tenang aja,” jawab Vany riang.
“Nite Ma, Pa!” kataku sambil mendorong punggung
Vany agar melanjutkan naik ke lantai 2 dan masuk ke kamarku.
Begitu pintu kamarku menutup, tawa kami meledak.
“Hahahahahaha ngasi taunya vulgar gitu sih
Mami?” kataku sambil tertawa.
“Hahahahaha iya tuh parah!” mata Vany berair
karena tawa.
“Hahahaha...”
Terdiam sesaat. Aku memeluk adikku dari
belakang. Vany menghembuskan nafas dengan agak gugup. Tanganku mengelus
perutnya yang buncit. Wangi buah-buahan khas Vany memenuhi inderaku.
“... Tapi aku bersyukur punya orangtua kayak
mereka,” bisik Vany. Aku mengangguk.
“Ya... Kalo yang lain mungkin kita udah diusir,”
kataku sambil mengecup belakang telinga adikku dengan lembut. Vany bergidik.
“Mmmhh... Udah lama banget rasanya ga dicium
kayak gitu...” bisiknya senang. Aku tersenyum, menurunkan kecupanku ke arah
rahang belakang Vany.
“Mmm... Van...”
“Hmm...? Nap...a?” tanya Vany di balik desahan.
“Gapapa... Kakak kangen banget sama kamu gini,”
kataku perlahan. Tanganku bergerak, meremas dadanya yang super besar perlahan.
“Tambah gede lagi ya?” tanyaku. Vany mengangguk.
“Iyalah... 34DD... Mmhhh...” katanya.
“Gila cepet banget tambah gedenya!” ujarku,
terkejut. Saat aku pergi bulan Agustus lalu, dada Vany berukuran 32D.
“Iyalah namanya hamil... Mmmm... Ka...ak...
Pelan donkk...” desah Vany keenakan. “Ah... Tapi gemuk tau aku... Mmhh...”
“Nggak koq... Sexy... Lagian kan emang hamil
pasti gitu...”
“Iya sih.. Mmmhh... Aah... Kakak...
Pelan-pelan...”
Aku meremas dada Vany dengan nafsu sambil terus
menciumi dan menjilati lehernya. Vany menelengkan kepalanya, memberi ruang
untuk memudahkanku menciuminya. Tanganku tak cukup besar untuk membekap dada
adikku. Luar biasa empuk dan padat rasanya. Penisku sudah tegang
setegang-tegangnya.
“Hmmm... Vann... Empuk banget...”
“Mmmnhh... Kakk... Kak... Jangan keras-keras...”
Vany berbalik, mencium bibirku. Kulumat bibir
adikku, kumasukkan lidahku yang langsung dibelitnya. Kami berciuman semakin
panas. Bunyi decak lidah kami yang saling membelit tedengar sexy di kamarku
yang dingin. Vany mundur hingga ke arah ranjangku dan merebahkan diri di sana,
diikuti aku yang menelungkup di atas tubuh adikku, melumat bibirnya dengan
lembut. Vany membelit lidahku dengan nikmat. Tanganku bergantian bermain di
atas perut dan dadanya yang empuk.
“Sayang... Udah boleh tau kejutannya?” tanyaku.
Vany nyengir nakal.
“Mmm... Sabar donk, yang...” godanya. Perlahan,
Vany mengangkat sedikit kaos tidur biru mudanya, menampakkan perutnya yang buncit
dengan jelas, menggodaku. Kulitnya mulus sekali, tak ada bekas-bekas strechmark
sama sekali. Penisku rasanya berdenyut-denyut di balik celanaku.
Aku tersenyum, mengelus dan mengecup perut
adikku. Masih heran rasanya akan kenyataan bahwa yang di dalam sana adalah
anakku sendiri. Sekali lagi, Vany seolah membaca pikiranku.
“... Ga nyangka ya, Kak?” tanyanya.
“Iya... Tapi Kakak seneng...” jawabku sambil
mengecup perutnya. Entah kenapa enak sekali rasanya.
“Aku juga...” kata Vany. “... Cowo ato cewek
ya?”
“... Semoga cewek...” jawabku. Vany tertawa.
“Koq gitu?”
“Abis maminya cantik banget... Kalo anaknya
cewek harusnya secantik maminya...”
“Ciah.. Gombal...” dengus Vany geli. Aku
nyengir. Tanganku merogoh ke arah dadanya, meremasnya dengan nikmat. Vany membuka
kaosnya seluruhnya. BH Vany yang pink berenda tampak sangat kesulitan menampung
dadanya yang besar; sebagian dadanya masih ada yang menyembul ke samping
kanan-kiri cakupan BH itu.
“Gede banget sih...” kataku gemas sambil meremas
dadanya. Aku merasakan puting Vany sudah mengeras di balik BHnya.
“Kakak yang buka deh... Kan bukannya dari
depan,” katanya.
Tak menunggu disuruh dua kali, aku membuka
kancing BHnya, dan perlahan, kedua tanganku menyingkapkan BH putih itu. Dada
Vany bergelayut menggiurkan saat terlepas dari bekapan BHnya. Benar-benar besar
dan kencang sekarang. Putingnya jelas bertambah besar, dan sekarang warnanya
menjadi lebih gelap.
Tanpa ragu-ragu aku meremas dada Vany. Montok
dan kenyal sekali. Jemariku memainkan putingnya yang tegak berdiri. Vany
menggeliat, menggelinjang.
“Aahh.... Kakkk... Enak bangett...” desahnya.
Aku memainkan puting kirinya yang super sensitif
dengan telunjukku. Tangan kiriku meremas dada kanannya, sementara jemari tangan
kananku mencubit puting kirinya. Tiba-tiba aku tertegun. Aku merasa tanganku
basah. Aku mendongak, menatap adikku. Vany tersenyum. Sepertinya aku tahu apa
kejutannya.
“Van... Kamu...?”
“Hehehe coba aja...”
Vany menarik kepalaku, membenamkan wajahku dalam
bekapan dadanya. Empuk dan lembut sekali. Perlahan, aku menggeser wajahku ke
arah putingnya. Kujilat puting kirinya perlahan. Vany mengejang.
“Kakk... Sedot aja...” pintanya.
Aku menyedot putingnya... Dan seketika itu juga
mulutku tersemprot cairan... manis... Susu!
“Van! Kamu udah kuar susu?” ujarku. Vany hanya
nyengir lebar dan mengangguk. Aku kembali menyedot susu dari putingya dengan
bersemangat. Enak sekali rasanya. Manis dan kental. Penisku benar-benar sudah
sangat tegang.
“Mmhh.. Pelan-pelan... Kakk... Mmmnn... Kakak
tuh kayak bayi gede...” katanya geli. Aku tak peduli, terus menikmati air susu
adikku. Bergantian aku menyedot, menjilat, mengulum puting kiri dan kanannya,
sambil terus meremas-remas, menikmati keempukan dada Vany dan manis susunya.
Vany mengelus-elus rambutku dengan sayang.
“.... Kakk... Mmmhh.... Suka banget ya?”
tanyanya perlahan.
“... Mmmm... Cppp... Sllrpp... Enak banget...
Vann... Mmm...” kataku dengan mulut penuh. Aku menegakkan diri, menjilat
ceceran air susu di sekitar mulutku, dan mengecup bibir adikku lembut.
“Kamu pinter kasi kejutan...” bisikku. Vany
tersenyum.
Kami berciuman lagi. Tangan kiriku merogoh ke
bawah perutnya yang buncit, masuk ke dalam celana pendek dan celana dalamnya.
Sudah basah sekali.
“Basah banget, Van?” godaku.
“Iihh... Kakak kan yang bikin gituu...” katanya
manja. “Ahh!!”
Aku memasukkan jari telunjuk dan jari tengahku
ke dalam vaginanya yang telah sangat basah sehingga Vany berjengit.
“Kakk... Nakal bangett... Mmmhh... Mmmmnn...
Mmmhhh!”
Jemariku keluar-masuk vaginanya, makin lama
makin cepat. Vany menggeliat, mengejang. Aku tahu sebentar lagi ia akan
orgasme.
“Ayo, Sayang... Keluarin aja...” kataku sambil
terus memainkan jemariku di dalam vaginanya. Vany tak tahan lagi.
“Kakkk... Kaa... Ahhhh... Aaahhh... Kkkaakk...
Mauu... Kellluarr... NNnnhh!!!”
Tangan kiriku tersiram cairan dingin kuat-kuat.
Vany squirting kuat sekali.
“Ooohh.... Oohhh... Kaakk... Kakkk...” kata Vany
terengah.
“Kamu masih kuat ya squirtingnya,” kataku,
tersenyum.
“Ayo Kak... Lanjutin...” pintanya.
Aku menurut. Perlahan, aku menciumi leher Vany,
kemudian turun ke dada dan perutnya yang mulus. Tubuh Vany bergetar saat
ciumanku turun dari perut ke arah pinggang bawahnya. Dengan lembut kubuka
celana pendek Vany. Vany mengenakan celana dalam pink tipis berenda, serasi
dengan BHnya. Sudah basah kuyup.
“Buka aja ya?” tanyaku. Vany mengangguk,
mengangkang untung memudahkan kakaknya membuka.
Kubuka celana dalam adikku perlahan. Bibir
vaginanya yang ditumbuhi rambut sangat tipis menjadi lebih tembem sekarang
setelah ia hamil, agak berdenyut setelah tadi keluar sekali. Tanpa ragu-ragu
aku membenamkan kepalaku di selangkangannya. Vany menggrunjal.
“Mmmhh... Kakk...” desahnya sambil menggigit
bibir bawahnya.
Kuciumi vagina adikku dengan nikmat. Wangi segar
sekali. Perlahan, kujulurkan lidahku ke dalam vaginanya dan mulai menjilati
dinding bagian dalam vagina Vany.
“Mmmnnn... Aaahh... Kakkk... Pelan... Oohh....”
desah Vany, mencengkeram rambutku. Aku memainkan lidahku semakin liar di dalam
vagina adikku. Vany mengejang.
“Kakkkkk.... KKAAKKK!!!”
Vany menjerit sambil squirting untuk kedua
kalinya, menyiram wajahku dengan cairannya. Tubuhnya gemetaran hebat, nafasnya
tersengal. Kulepas kaosku untuk mengelap wajahku yang basah kuyup.
“Hhh... Hhhh Kakk... Hhh...” dada dan perut Vany
bergerak naik-turun menggiurkan, mengatur nafas.
“Ayo, giliran Kakak ya sekarang...” kataku
sambil menegakkan diriku di hadapannya, menyodorkan penisku ke arah wajahnya.
Vany mengangguk, beringsut menegakkan diri
perlahan. Perutnya yang besar membuatnya tak selincah dulu. Vany duduk
bersender ke kepala ranjang, dan mengelus penisku perlahan. Dengan tatapan
menggoda, Vany menjilati penisku yang sudah sangat tegang. Dijilatinya dengan
lembut dari pangkal hingga kepalanya, kemudian Vany memutar-mutar lidahnya di
kepala penisku.
“Mmm... Sllrpp... Kasian udah lama ga dijilat
aku... Mmmm..” kata Vany manja. Aku nyengir sambil menahan nikmatnya.
“Ngghh... Sedot... Sedot aja sayang,” pintaku.
Vany memasukkan penisku ke dalam mulutnya, dan
dengan ahli mengulumnya. Kepalanya bergerak maju-mundur. Enak sekali.
“Aahh... Vannn... Mmmmnnhh.... Kamu emang
jago... Nggg...” desahku.
Vany menggerakkan lidahnya di bagian bawah
penisku sambil terus mengulum dan menyedotnya kuat-kuat. Teknik oral sex adikku
sudah sangat hebat sekarang.
“Mmmm... Sllrppp... Cppp... Tabah besal lagii..
Nagalll.. Sllrpp... (Tambah besar lagi... Nakal)” katanya dengan mulut penuh.
Vany semakin mengencangkan sedotannya. Kalau seperti ini aku tak akan tahan
lama.
“Ss.... Sayangg... Mau kuarr... Nnggghhh... Titt...
F... uck aja...” desahku tak kuat.
“Oke...” katanya.
Vany menghentikan sedotannya dan memegang
penisku. Ia mengarahkannya ke arah putingnya yang juga telah tegang, dan
memainkan penisku di situ. Enak sekali rasanya.
“Vaann... Vannn... Nngghhh....” aku benar-benar
tak tahan.
“Mmmhh... Kakk...” desahnya menikmati. Vany
meremas dadanya hingga air susu mengalir keluar dari kedua putingnya. Ini sudah
keterlaluan.
“VaannnNNNNN!!!!” aku meledakkan spermaku
berkali-kali ke atas dada adikku yang besar, ke leher dan wajahnya. Enak
sekali. Vany menjilat sperma yang ada di sekitar bibirnya sambil mengocok
penisku yang masih tegang perlahan.
“Mmm... Kakak ga seru nihh... Masa digituin aja
langsung keluar...” ujarnya bercanda.
“Ya lagian kamu disuru titf*ck malah maen-maenin
di puting kamu... Pake keluar susunya segala lagi... Mana tahan,” kataku
membela diri. Vany nyengir lebar.
“Segitu sukanya ya aku titf*ck?” bisiknya
perlahan. Tersenyum, kuletakkan penisku di belahan dadanya. Empuk dan lembut
sekali, kulitnya sungguh-sungguh mulus. Vany menekan kedua dadanya yang luar
biasa bulat dan besar, menjepit penisku di tengah, dan mulai menggerakkannya
naik-turun.
“Ooohhh... Vannn... Ini enaakkk.. nngghh...
banggett...” kataku dengan suara tercekat. Penisku terasa berdenyut-denyut di
tengah bekapan dadanya. Sensasinya luar biasa karena bagian samping penisku
terbungkus dadanya yang besar dan empuk sementara bagian bawahnya tertekan
perutnya yang buncit dan keras. Benar-benar tak bisa dilukiskan nikmatnya.
“Mmmnnhh... Vannn.. Vann...” tanpa sadar aku
menggerakkan pinggulku maju-mundur. Vany menjulurkan lidahnya, menjilati kepala
penisku yang hilang-timbul dari balik dadanya.
“Ngghh.. Vann.. Vann... Kakak mau.. keluarr...
Mmmnnhhh...” aku menggerakkan pinggulku semakin cepat. Jepitannya terasa
semakin kuat.
“Kuarin di mulutku ya, Kak...” katanya. Aku
mengangguk-angguk.
Vany melepas jepitan dadanya dan segera menyedot
penisku kuat-kuat. Aku menyemprotkan spermaku ke dalam mulutnya berkali-kali,
rasanya tak mau berhenti. Mulut Vany terlalu mungil untuk menampung semuanya,
sehingga sebagian menetes ke dagu dan dadanya. Penisku masih tegang. Tak ada
tanda-tanda akan melemas sedikit pun. Badanku masih menginginkannya.
Vany menelan sperma kakaknya. Seksi sekali.
“Kamu selama kakak pergi sering nonton bokep
ya?” tanyaku tiba-tiba.
“Hahahahaha.. Koq kakak tauu??” tanyanya polos.
“Gayanya udah persis gitu...” Vany terkekeh.
Tangannya bergerak turun, mengelus perutnya yang buncit, dan merogoh vaginanya.
Jemarinya membuka bibir vaginanya, memamerkannya padaku.
“Ayo Kak... Katanya pengen ngerasain...”
godanya.
Aku tersenyum. Kuarahkan penisku ke vagina
adikku, kumainkan bibir vaginanya yang tembem dengan kepala penisku.
“Nngg... Kaak... Ayoo masukiinn...” pintanya tak
sabar.
“Iya iya ini yang udah ngebet siapa sih
sebenernya..” candaku. Vany terbahak.
“Makanya cepett...”
Aku menunduk, mengecup perut adikku yang buncit
dan mulus.
“Papi masuk ya...” kataku meminta izin pada
anakku. Vany tertawa lagi.
“Kaakk... Ayoo...”
Tak perlu disuruh lagi, aku segera menghujamkan
penisku ke dalam vaginanya. Hangat dan sempit sekali, lebih nyaman dari
vagina-vagina lain. Vany menggrunjal, tangannya yang mungil mencengkeram
seprei. Kugerakkan pinggulku perlahan di hadapannya.
“MMnnhhh!! Kakk... Aaahhh... Aahh.. Ahh..”
desahnya tiap kali penisku menghantam mulut rahimnya. Dadanya
berguncang-guncang menggiurkan seirama tusukanku. Sesekali air susu merembes
keluar dari putingnya.
“Vaann.. Nghh.. Nghhh... Jadii... Anget...
Bangett.. Ahh...” kataku.
“Mmhhh.. Mnnhhh... Ahh.. Kakk.. Kak pelan..
pelaann...”
Aku meremas dada Vany yang penuh susu. Air
susunya muncrat keluar, membasahi tanganku. Sambil terus menghujamkan penisku,
aku menunduk, menyedot dan menjilat putingnya, meminum susu adikku yang manis.
“Aahh.. Ahhh.. Kakk... Kakkk... Mmnhhh...
Mauu...” desahnya terbata. Wajahnya merah padam. Aku tahu Vany sudah hampir
mencapai klimaksnya.
“Nnghhh... Keluarin.. Keluarin sayangg...”
ujarku, mempercepat genjotanku.
Vany mencengkeram seprei kuat-kuat. Aku tahu jilatan
dan kulumanku di putingnya semakin merangsangnya, sehingga kumainkan lidahku di
atas puting kirinya yang super sensitif. Vany mengejang, tak tahan.
“Kaaakkkk... KAAKK!!!” Vany menjerit sambil
squirting kuat-kuat. Air susunya menyemprot keluar ketika ia mencapai orgasme.
Luar biasa sekali. Vaginanya pun menyempit drastis, menjepit penisku lebih kuat
lagi. Aku semakin mempercepat genjotanku.
“MMhhh.. S... Sayangg.. Enakk bangettt...
Ngghhhh...” bisikku.
“Kakk... Ahhhh... Ahh.. Hhh... Pelan...
Pelann...” desah Vany di balik nafasnya yang tersengal. Keringat membanjiri
tubuh kami. Tangannya merangkul leherku.
“Vann... Kamu.. Nghh... Tambah... Mmhh..
Sempit.. Tauu...”
“Aahh... Ahhh... Tapi.. Tapi ntar.. Bayinya...
Sakit... Aahhh...” kata Vany sambil mengelus perutnya.
Aku tertegun.
“... Hhh... Hhh... Kenapa Kak?” tanya Vany heran
karena aku tiba-tiba berhenti.
“... Hm? Oh... Nggak... Gapapa...” kataku,
menggelengkan kepala. Ini persis dengan mimpiku berbulan-bulan lalu saat belum
mengetahui bahwa adikku sedang mengandung anakku.
“Kurang kenceng, kah?? Oke bentar...” kata Vany.
Tiba-tiba ia berkonsentrasi, mengetatkan jepitan vaginanya, dan mengeluarkan
‘jurus’nya: penisku seketika seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan.
“Nngggaahhhh... Vaann... Vann.. Vaannn...
Kakakk... Ga bilang gitu...” kataku, menahan sensasi nikmatnya. Aku memejamkan
mata rapat-rapat.
“Mmhhh... M... Lagian... Tau-tau... Ahh.. Diem
gitu...”
“Iya dehhh... Cepet deh... Mmmhhhh...” kataku,
mempercepat hujamanku. Kulumat bibir adikku. Lidah kami saling berbelit,
berdecak. Penisku sekali lagi diserang gelombang Vany, dan aku sudah tak tahan
lagi.
“Mmmmwahh... VaannnnnnnNNNN!!!!” seruku sambil
melepas ciuman. Aku mengeluarkan cairan putihku di dalam vaginanya
berkali-kali. Vany mengencangkan vaginanya, membuat penisku serasa diperas.
Kucabut penisku saat masih belum berhenti
keluar, dan meledakkan sisa sperma di atas perut adikku yang sedang hamil. Vany
terbaring terengah-engah; cairan putih kental mengalir keluar dari dalam
vaginanya membasahi pahanya dan ranjangku. Perutnya yang buncit, terlihat
mengkilat karena keringatnya tertimpa cahaya lampu kamarku, bergerak
naik-turun. Vany memejamkan mata, menikmati sensasi yang masih tertinggal.
Kududukkan diriku di sisinya. Penisku sudah linu,
tapi masih tetap meminta lebih lagi. Vany menyenderkan kepalanya di bahu
kakaknya. Kukecup kepala Vany.
“Masih mau lagi ya, Kak?” tanyanya saat melihat
penisku yang masih tegak berdiri.
“Mungkin sekali lagi... Kamu udah capek belon?”
Vany menggeleng.
“Yuk... Anal?” tanyanya. Aku nyengir dan
mengangguk. Vany beringsut menegakkan dirinya dan berjongkok di atas penisku,
membelakangi aku. Kuremas pantatnya yang besar dan montok.
“Sekarang bahkan lebih besar dari Cherry...”
kataku memuji.
“Kan hamil.. Ntar Cherry kalo hamil juga pasti
lebih gede lagi...” katanya. Aku tertawa. Tak terbayang seberapa besarnya
pantat sahabatku saat hamil nanti.
Kubuka bongkahan pantat adikku, menampakkan
anusnya yang baru sekali dimasuki. Perlahan, Vany menurunkan pinggulnya ke atas
pangkuanku, hingga penisku perlahan masuk ke dalam anusnya yang sempit. Sensasi
lembut pantatnya dan sempit anus adikku membungkus penisku. Enak sekali.
“Mmmhhh... Vannn...” kataku sambil mulai
perlahan menggerakkan pinggulku naik-turun.
“Ngghh... Kakk... Kalo bukan... Nhh... Kakak...
Aku ga mau loh di anal... Mmhh...” ujarnya terbata. Vany menyenderkan
punggungnya ke arahku.
“Mmhh.. Mmhh.. Tapi... Kamu... Suka kan...”
kataku. Aku semakin mempercepat genjotanku.
“Aahh.. Ahh... Nnhh... Se... Sekarang sih...
Nggaahh.. Sukaa... Aaahh...” desahnya. Kuremas-remas dada adikku dengan nikmat,
memeras air susunya hingga menyemprot-nyemprot keluar. Penisku menghujam ke
dalam anusnya berkali-kali, semakin lama semakin cepat. Enak sekali, sempit
sekali.
“NMmhh... Sayang... Ini sempit bangetttt...
Mmmhhh....” kuciumi lehernya. Pinggul Vany mulai bergerak naik-turun juga,
membantuku.
“Aaahh... Aaahh... Kakkk...” desah Vany sambil
membelai perutnya. Tanpa sadar, tangannya merogoh ke arah vaginanya yang masih
berlumuran spermaku dan mulai memasukkan jemarinya sendiri ke dalam.
Kumainkan, kucubit puting adikku yang tegang.
Nafas kami seolah seirama sekarang. Erangan dan desahan memenuhi kamarku malam
itu.
“Kakk... Aahhh... Kakk... Aaaahh... Ahh..
Keluar... Keluarrr...” desah Vany tak karuan. Jemarinya semakin cepat memainkan
vaginanya sendiri. Genjotanku semakin kuat di anusnya.
“Bentar.. Bentarrr... Bentar Vann... Nnhh...
Bar.... enggg.. Yuk...” kataku.
“Kaakk... Kakk... Ga kuatt... Nggahhh...
GGHhh.!!!... Kaaakk... Kakakkkkk!!! KAAAK!!”
“Oke.. Ohhhh... VaannNNN!!! Vanyyy!!!”
Kami orgasme bersama. Kuledakkan berkali-kali
spermaku ke dalam anusnya. Tanganku meremas kuat-kuat dada Vany hingga saat ia
squirting, air susunya menyemprot kuat-kuat keluar, tak henti-henti.
Kami merosot lemas ke atas ranjang. Vany
berguling ke sebelahku, terkulai. Anus dan vaginanya masih berlumuran sperma
kakaknya. Kepalaku sakit sekali rasanya setelah keluar empat kali
berturut-turut. Rasanya ML malam ini cukup untuk beberapa hari. Kupejamkan
mataku. Kami langsung tertidur tanpa berkata apa-apa.
* * *
Aku terbangun tiba-tiba, kedinginan. Kulirik jam
di dinding kamarku... Samar-samar... Pukul enam pagi. Pandanganku kabur, tapi
sakit kepalaku telah hilang. Aku menoleh ke sisiku, tinggal seprei dan selimut
kosong. Vany rupanya sudah bangun lebih dahulu.
“Ehh... Udah bangun...”
Aku menoleh, melihat Vany masuk dari arah pintu
tembusan ke kamarnya, sedang mengancingkan kemeja putih SMPnya. Sepintas aku
melihat kulit mulus perut hamilnya di balik kemeja itu.
“Mmhh... Mau berangkat sekolah?” tanyaku lemas.
“Yup!” ujarnya riang. Aku selalu heran pada
semangat yang dimiliki adikku ini. Padahal malam sebelumnya kami habis-habisan
ML. Pandanganku mulai jelas, dan menyadari bahwa tubuh Vany yang sedang hamil
terlihat seksi sekali dalam balutan seragam putih-biru SMP.
“Oya Kak... Hari ini ada sparring basket juga
pulang sekolah.. Aku mau nont...”
Kata-kata Vany terpotong. Aku telah memeluknya
dari belakang dengan lembut. Kubelai perutnya yang buncit dengan kedua
tanganku.
“Mmm? Napa, sayang...?” bisiknya riang. Ia
mendongak, mengecup pipiku.
“Kamu seksi banget pake seragam sekolah...”
bisikku di telinganya. Kukecup juga pipi Vany dengan lembut. Vany terkikik.
“Hihihi... Aku udah ngira kakak bakal bilang
gitu...” katanya.
“Mm... Kamu ga boleh cape-cape loh di
sekolah...” kataku menggoda sambil memegang dadanya dengan lembut. Vany
mendesah pelan. “Mending di rumah...”
“Kak... Ntar aku telat lohh...”
“Kan sekolahnya deket...” bisikku sambil melepas
kancing kemejanya perlahan. Kukecup belakang telinga adikku. “Kakak pengen
minum susu dulu...”
“Hehehe... Ketagihan ya?” tanyanya, aku
mengangguk.
“Mm... Gimana kalo kakak ntar dateng ke
sekolah... Terus kita nonton basket bareng?” tawarku. Kuremas dada Vany dengan
lembut. Aku merasakan puting adikku mulai menegang di balik BH putihnya.
“Hmmhh.. Boleh... juga...” desahnya. Kuangkat BH
Vany hingga dadanya yang super besar jatuh keluar berguncang. Aku bergerak ke
arah depan Vany dan mulai mengulum putingnya, menyedot dan meminum air susunya.
Vany terduduk di atas kursi komputerku, memejamkan mata menikmati.
“Ngghh... Kakk... Kalo aku telat... Kakak yang
tanggung jawab.. Ya... Mhh...” katanya sambil membelai rambut kakaknya.
Sambil mengelus perutnya yang buncit dan terus
menyedot air susu adikku, aku berpikir tentang apa yang akan kami lakukan siang
nanti di sekolah...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar