“Nggak ah cakepan yang kanannya.. Lebi imut...”
“Ah nggak nurut gue cakepan yang kiri..”
Ini kebiasaan teman-temanku setiap jam istirahat ketiga pada hari Kamis. Kami,
siswa-siswi SMA, pulang sekolah pukul 13.30 setiap harinya; sementara
siswa-siswi SMP sudah mengakhiri pelajaran pada pukul 11.45, bertepatan dengan
jam istirahat ketiga kami.
Setiap saat itulah, teman-temanku berdiri bersandar di balkon dan menonton
siswa-siswi SMP sekolah kami yang sedang berjalan pulang sekolah. Seringkali
mereka mengomentari siswi-siswi mana yang imut atau cantik, dan terutama yang
menurut mereka memiliki tubuh yang seksi. Beberapa temanku bahkan sering
bersiul pada mereka, atau menggoda mereka, hanya untuk menarik perhatian salah
satu dari cewek-cewek SMP yang cantik-cantik itu. Hari ini pun begitu,
sementara aku duduk di bangku panjang sambil mendengarkan iPod ku.
“Dit! Dit! Vany tuh!”
Nah, di antara semua cewek SMP yang lain, ada satu cewek yang paling menarik
perhatian hampir semua temanku (dan sepertinya hampir semua cowok di SMA dan
SMP, dan mungkin bahkan beberapa bapak guru). Cewek itu adalah Stevany, adik
perempuanku. Stevany 4 tahun lebih muda dariku, dia duduk di kelas 2 SMP.
Sebenarnya Vany sama seperti cewek-cewek yang lain; dengan tinggi badan 153 cm
dan berat 46 kg, Vany tergolong kecil mungil, tidak tinggi semampai. Rambutnya
yang hitam pun hanya dipotong pendek sebatas leher. Memang wajahnya sangat imut
dan kulitnya pun putih mulus tanpa cacat, tapi bukan itu yang membuat teman-temanku
tergila-gila padanya.
“Duh gilak tuh anak cute banget sih!!”
“Sexy banget, maksud lu..!?”
Yap... Kontras dengan wajahnya yang sangat imut seperti anak kecil, Vany bisa
dibilang sangat sexy. Alasan utamanya—dan aku yakin bagian inilah yang selalu
dilihat oleh hampir semua cowok—Vany memiliki dada berukuran 34 C, yang
termasuk sangat besar untuk anak seusianya. Bentuknya pun sangat bulat dan
penuh.
“Duh gue ngaceng... Gede banget gilak...”
“Hus! Ada kakaknya tuh.. Ntar lu dibunuh... Hahaha”
Tiba-tiba teman-temanku ber “Oooh...!!” seru. Aku melongok ke arah lantai
dasar, mencari tahu penyebab “Ooh..!!” tiba-tiba itu. Pantas, pikirku. Vany
sedang berlari berkejar-kejaran dengan beberapa cewek lain. Aku tahu apa yang
diperhatikan oleh teman-temanku: dada Vany yang berguncang-guncang menggiurkan
saat ia berlari. Aku melirik ke arah teman-temanku, dan aku dapat melihat
tonjolan-tonjolan tegang di bagian tengah celana panjang mereka.
“Heh! Udah! Adek gue bukan tontonan!” ujarku. Teman-temanku menoleh.
“Yee... Salahnya adek lu punya badan kayak gitu..” kata Martin, salah satu
temanku.
“Toket kayak gitu, lebih tepatnya,” kata yang lain.
“Ah, udalah! Nyebelin...” kataku gusar. Aku berdiri dan berjalan pergi,
meninggalkan teman-temanku yang menatapku gelisah.
Sebenarnya hal ini sudah membuatku gelisah beberapa waktu belakangan ini. Sejak
adikku kelas 6 SD, entah kenapa seolah-olah dadanya seperti dipompa;
pertumbuhannya pesat sekali! Hampir setiap pergantian semester, adikku ini
mengeluh bra-nya sudah kesempitan, dan ternyata ukurannya sudah bertambah besar
lagi. Di saat teman-teman seusianya masih belum mengenakan bra, Vany sudah
mulai memilih bra mana yang harus dikenakannya, dan saat teman-temannya mulai
merasakan pertumbuhan di dada mereka, milik Vany bahkan sudah jauh lebih besar
dari milik ibuku.
Dan, yang paling membuatku khawatir, adalah kenyataan bahwa bagaimana pun, aku
juga seorang cowok normal, yang juga bisa terangsang bila melihat sepasang dada
yang bulat dan sangat besar seperti miliknya. Bahkan sudah beberapa lama ini
aku menahan godaan untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya
dilakukan oleh seorang kakak pada adiknya.
-------
Kaak... Deek... Turun sini!!
Udah mulai nih upacaranya!”
“Iyaa... Bentar aku turun!!”
Ayahku memanggil. Beliau dan Ibuku sedang menonton
upacara pembukaan Euro 2008 di ruang keluarga. Ayahku memang sangat menggemari
sepak bola, begitu pula dengan aku dan Vany. Hanya ibuku yang tidak terlalu
suka sepak bola, tapi karena dikeroyok 3 orang penggemar bola di rumah,
akhirnya ibu menyerah dan ikut menonton. Toh, beliau ikut senang melihat
upacara pembukaan yang meriah.
“Heeii bagus loh ini!!” suara ibuku yang memanggil
kali ini.
“Yaya bentaarr!!! Nanggung!!” aku berteriak.
“Ngapain sih, kamu?”
Aku tak menjawab. Aku sedang melihat foto-foto
liburan keluargaku yang terakhir ke Bali. Well, sebenarnya hanya foto Vany yang
kulihat... Sudah beberapa minggu—mungkin beberapa bulan—terakhir ini aku sering
menghabiskan malamku memelototi foto-foto Vany di komputerku. Makan apa sih
kamu, aku sering berpikir begitu. Koq bisa jadi segede itu...
Aku sampai ke foto-foto kami di pantai... Vany
mengenakan tank-top putih dan kain sarung Bali di foto itu.
Aku menekan tombol ‘next’, foto berikutnya. Vany
sedang bermain air di pantai. Tank-topnya basah, samar-samar memperlihatkan
bikininya yang berwarna biru muda, tampak kesulitan menahan dadanya yang besar.
Celanaku mulai menyempit di bagian selangkangan.
‘Next’ lagi... Oh, ini video, batinku. Masih Vany
yang bermain air. Tapi kali ini ia berlari kecil. Mataku terpaku pada dadanya
yang berguncang-guncang. Sangat menggiurkan. Aku merasakan tonjolan di celanaku
semakin membesar. Aku merogohkan tanganku ke dalam celana, dan perlahan mulai
mengocok penisku yang sangat tegang.
Aku memejamkan mata, pikiranku mulai melayang...
“Heh! Kakak liat apa tuh sampe melotot gitu?!”
Aku melonjak kaget di kursiku. Astaga! Aku lupa
mengunci pintu tembusan antara kamarku dan kamarnya! Vany berjalan mendekat.
Cepat-cepat aku menarik tanganku keluar dari celana. Tapi aku tak tahu
bagaimana menyembunyikan tonjolan besar dari balik celanaku ini! Vany sudah
membungkuk di belakangku.
“Eeh... Nggak koq... Ini lagi ngeliat foto-video
waktu kita ke Bali terakhir...” kataku gugup. Aku buru-buru menarik bantal kecil
di ranjangku untuk menutupi selangkanganku.
“Hoo... Hm? Koq isinya fotoku semua?” katanya
sambil menekan-nekan tombol next-next-next-next... Memang foto-fotonya sudah
aku kelompokkan kedalam satu folder sendiri.
“Eeh? Eh... Mm... Biar gampang milihnya kakak
kelompokin ke dalem satu folder gitu...”
Jantungku berdegup-degup kencang.
“Ooo... Yaya...” aku merasakan ada nada keraguan
dibalik suaranya, “Yuk turun.. Udah mulai tuh! Lucu loh ada sapi-sapi segala!”
“Oke oke.. Yuk...”
Aku mematikan komputerku. Vany menggamit lenganku
saat kami berjalan keluar kamar dan turun ke bawah. Kami duduk bersebelahan.
“Kak,” tiba-tiba dia berbisik. Sangat pelan.
“Hm?”
“Kakak ngaceng ya tadi waktu ngeliat fotoku? Dosa
loh kaak... Hihihi...” bisiknya.
“HAH?! Eh... Ng... Nggak koq!” ujarku gelagapan.
“Aku liat koq kak tadi...” bisik Vany. Senyum
jahil melintas di wajahnya yang imut.
“Eh...”
“Bilang mama aahh...” senyumnya semakin jahil.
“Ehh! Eh jangan Van!” bisikku panik.
“Hehehe nggak dehh...”
Kami terdiam... Tomas Ujfalusi dan Alexander Frei,
kapten Swiss dan Ceko, berjalan memasuki lapangan. Pertandingan segera dimulai.
“Kak,” bisiknya lagi.
“Ya?”
“Punya kakak gede banget...”
Cepat-cepat aku menarik bantal.
---------
“Kak, bangun! Udah mau kick off
tuh!”
“Mmm...”
“Aaa... Kak! Luca Toni tuh! Gattuso! Pirlo! Aaa...
Buffon Kak!”
“Mmm....”
“Kaakk... BaanguuUnn...”
Pagi itu pertandingan grup C Euro 2008, Belanda vs
Italia. Kami menonton di kamarku. Vany memang pendukung setia Italia, sedangkan
aku pendukung baru Belanda. Sebenarnya aku pendukung setia timnas Inggris, tapi
sayang sekali Inggris tidak lolos tahun ini, jadi aku beralih mendukung
Belanda. Aku dengar tahun ini pelatih Van Basten membawa kejutan dalam timnas
Oranye.
“KAAK! Udah kick off!!! Kak.... Kaaakkk.. Bangguunn..!!!
Iih nyebelin!!” Vany habis kesabaran, mengguncang-guncangku hingga terbangun.
“Eeehhh... Eh... Ehh... Iya iya iya udah bangun
ini!!” kataku mengantuk. Vany terus mengguncang-guncang badanku, tidak
mempedulikan protesku. Tapi pemandangan yang aku lihat setelah itu benar-benar
membuatku tidak mengantuk sama sekali.
Vany rupanya telah duduk mengangkang di atas
perutku. Baju tidurnya yang putih-pink terlihat tipis sekali dini hari itu.
Dadanya yang besar menggelayut, dan samar-samar aku melihat 2 tonjolan kecil di
masing-masing ujungnya. Vany nggak pake bra?
“Bangun,” ulangnya, nyengir.
“I... Iya...” entah kenapa aku merasa mukaku
terbakar. Rupanya Vany menyadarinya. Nyengirnya makin lebar.
“Kenapa mukanya merah, Kak...” suaranya pelan,
menggoda. Vany mendekatkan wajahnya ke arahku, hingga hanya berjarak beberapa
senti saja. Penisku mulai menegang. Aku menelan ludah, memberanikan diri.
“Van...”
“Hm?”
“Kamu... Kamu beneran liat kakak ngaceng waktu
itu?” tanyaku gugup.
Vany mengangguk, tersenyum.
“Koq bisa gitu, Kak? Sampe setegang itu?”
“Yah... Eh...”
“Apa karena... Punyaku gede?” dia tidak menunggu
jawabanku.
“Yah...” Aku mengangguk. “Iya... Jujur, iya...”
“Hmmm...” muka Vany memerah. Ia berkata pelan,
“Emang segede itu ya?”
“Well... Buat anak seumuran kamu sih gede banget,
Van...” kataku. “Kamu tau banyak cowok yang nafsu banget sama punyamu?”
“Iya...” katanya perlahan. “Kakak juga?”
Aku tak dapat menjawab. Aku merasa bersalah. Tapi
Vany tersenyum.
“Gapapa, Kak...” ujarnya. “Aku gapapa koq kalo
kakak yang nafsu... Hehee...”
Penisku semakin tegak berdiri.
“Be... Bener?” Ia mengangguk. Vany menunduk,
mengecup pipiku. Dadanya menekan dadaku. Tepat saat itu tanpa sengaja pantatnya
yang empuk menyenggol penisku yang sudah sangat tegang. Vany melonjak kaget.
“Kak... Kakak tegang lagi...” bisiknya perlahan.
Ia berbalik, memunggungiku, menatap tonjolan besar di balik celana pendekku.
“Be... Besar banget...”
Saat itu 2 hal bergejolak di dalam diriku: nafsu
dan logika. Logikaku berkata aku ini kakaknya, dan sesexy apa pun Vany, dia
adikku. Tapi nafsuku berkata, Vany itu cewek yang luar biasa sexy, yang sedang
duduk di atas perutku menghadapi penisku yang tegang.
Nafsu memang selalu lebih kuat dari logika.
Aku mendudukkan diri, sehingga Vany merosot ke pangkuanku.
Penisku benar-benar terjepit di antara kedua pahanya yang mulus sekarang. Aku
merasakan penisku berdenyut-denyut tegang.
“Kak...?” bisik Vany.
Aku mulai mencium belakang telinganya dengan
lembut, kemudian turun ke arah rahang belakangnya. Aku mencium perlahan tapi
pasti, sesekali menjulurkan lidahku untuk menjilatnya lembut.
“Hhh... Ka...k...” Vany mendesah pelan.
Perlahan, lehernya kulumat. Vany menelengkan
kepalanya, sehingga dapat dengan cukup mudah aku mencium lehernya. Nafasnya
semakin berat.
“Mmhhh... Kak.. Kaakk... G... Ga boleh l...lohh...
Mmhh...” desahnya perlahan, memperingatkanku. Aku tak peduli.
Vany mulai menggeliat keenakan, membuat penisku
tergesek pahanya. Bahkan walaupun di dalam celana, aku merasakan nikmatnya. Tak
tahan, aku menanyakan sesuatu padanya yang mungkin sangat ingin ditanyakan oleh
hampir setiap cowok di sekolah.
“Van... Boleh kakak pegang toket kamu?”
Vany terdiam. Aku bisa merasakan pertentangan di
dalam dirinya. Namun, sekali lagi, nafsu mengalahkan logika. Vany mengangguk
lambat.
Tak menunggu disuruh dua kali, perlahan-lahan aku
menjangkaukan tanganku di bawah ketiaknya, dan dengan lembut aku meremas kedua
buah dadanya yang besar dan menggiurkan itu. Sensasi empuk dan bulat penuh
memenuhi tanganku yang tak cukup besar untuk meremas buah dadanya secara
keseluruhan. Aku bisa merasakan putingnya. Benar dia tidak memakai bra.
“Aahh... Kaak... Mmmhh... Pe... lan.. Pelan...”
Vany mendesah nikmat. Kedua tangannya mencengkeram erat seprei di ranjangku.
Aku masih menjilati lehernya, kali ini cukup
cepat. Kedua tanganku meremas-remas dadanya yang empuk dan besar, yang sudah
menjadi kencang karena terangsang. Jari-jariku memainkan putingnya yang sudah
tegang dan keras.
“Koq udah keras banget gini, Van?” bisikku menggodanya.
“Mmhh... Abisnya... Mmmhh...”
“Kalo diginiin jadi tambah keras nggak?” Aku
menjepit kedua putingnya di antara jari telunjuk dan jempolku, kemudian
memelintirnya perlahan-lahan.
“Aaahhh... Aaaahhh... Kaakkk..!!!”
Saat itu aku merasakan penisku tersiram sesuatu.
Rupanya Vany sudah sangat basah sehingga cairannya ikut membasahi penisku. Aku
meremas dadanya semakin kencang, sambil terus melumat leher dan belakang
telinga Vany.
“Ooohh... Kakk... Kak.. Kalo gini teruss... Aku...
Akku...”
“Kamu kenapaa?” Tangan kananku memainkan
putingnya, sementara yang kiri meremas lebih kuat.
“Aku... Aaahhhh... Mmmhh... Kaakk... Mmhh...”
“Kenapa...”
“Ga... gapapa... Ooohh... Ka...k..”
Aku merasakan penisku semakin tegang, nafas Vany
pun semakin tak karuan. Ia menggeliat-geliat keenakan, merangsang penisku
semakin hebat.
“Van, pegang penis kakak donk...”
“Mmmhhh... Ga... Ga... Ga bo...leh ah, Kak...
Hhhh...”
“Boleehh... Ayo... Gapapa koq...” aku membujuknya.
Ragu-ragu, Vany melepaskan cengkeraman tangan
kananya, dan meletakkan jari telunjuknya di kepala penisku. Rasanya sudah mau
kuledakkan saja spermaku saat itu.
“Van, digenggam aja...”
“G... Ga ah kak... Gini aja.... Mmhh...” Ia
memainkan jari telunjukknya di sekitar tonjolan di balik celanaku itu. Itu saja
cukup, pikirku. Aku meremas dadanya yang besar semakin liar, memainkan
putingnya dan menjilati lehernya dengan ganas. Aku mulai menggosok-gosokkan
penisku ke selangkangannya yang sudah sangat basah.
“Aaahhh... Kaakk... Kak... Aku... Aku bisa.. Aku
bisa kelu...arr.. Mmmhhh...”
“Keluarin aja... Mmhhh... Gapapa...” Aku
menggerakkan pahaku semakin kuat, rasanya aku sendiri sudah mendekati klimaks.
Aku mengeluarkan penisku dari celanaku, membuatnya bergeletar liar menggesek
selangkangan dan paha Vany. Remasanku semakin kencang dan liar. Aku benar-benar
sudah mau keluar.
“Kaakkk... Kaakkk... Aku... Aku KELUAR...
aaAAHHH... AAHHH!!!”
Slllsssrrrlsshhhhh.... Aku terkejut saat penisku tersemprot cairan
vaginanya. Vany orgasme dan <i>squirting</i>, menyemprot penisku
dengan sangat kuat. Tak butuh waktu lama untukku untuk mencapai giliranku.
“Ooohhh... VAAANNN!!! MMMMHH!!!”
Aku meledakkan spermaku satu, dua, empat, enam
kali dalam jumlah besar, melumuri paha dan perutnya, bahkan ada yang menyemprot
hingga dada dan wajahnya yang imut.
Vany terkulai ke ranjang. Ia terlentang, dadanya
yang besar bergerak naik-turun mengatur nafas. Putingnya masih sangat tegang.
Aku mengatur nafas. Penisku masih sangat tegang, mungkin karena hasrat yang
sudah kupendam begitu lama untuk merasakan empuknya dada Vany yang besar. Aku
siap untuk melangkah lebih jauh lagi.
Tapi saat itu logika kembali ke pikiranku. Tidak,
batinku. Ini sudah cukup parah buat kakak-adik. Aku melirik Vany yang
tergeletak lemas, celananya basah kuyup. Paha, perut, dadanya yang besar dan
wajahnya berlumuran cairan putih kental milik kakaknya. Aku tersenyum.
“Thanks Van...” bisikku.
“Hhh... Hhh...” Vany masih terengah-engah. “I...
Hhh... Iya... Sama-sama...”
Aku terdiam, terpaku menatap layar TV. Rafael van
Der Vaart sedang bersiap mengambil tendangan bebas untuk Belanda.
“Kak...”
“Ya?”
“Jangan lagi ya... Dosa...” bisiknya lemah
menegurku.
“Oke...”
Van der Vaart menendang bola lambung, tinggi ke
arah tiang jauh. Buffon menepis.
“Van...”
“Hm?”
“Tapi...” terlintas pikiran jahil dalam benakku,
“Enak nggak?”
Joris Matijsen mengambil bola muntah, mengopernya
pada Wesley Sneijder. Aku menoleh, dan dalam gelap, aku melihat senyum
mengembang di wajah Vany yang kelelahan.
“... Enak, Kak...” jawabnya. “Enak banget...”
Ruud van Nistelrooy meneruskan tendangan Sneijder
ke gawang Buffon.
“Van...”
“Ya?”
“Belanda gol tuh...”
“APA?! KOQ BISA!!!!”
Ada gak cerita sequel/lanjutannya?seru Kayaknya.
BalasHapusini ada 6 part cuy
Hapus