Kubelokkan mobilku masuk ke halaman parkir gedung tua itu. Entah kenapa bibirku seolah memaksaku untuk tersenyum lebar. Tapi, sesaat kemudian aku tersadar… Terlalu banyak kenangan manis yang disimpan gedung ini.
“…
Kangen ya sama sekolah ini.”
Aku
mengangguk dan tersenyum pada Cherry yang duduk di sebelahku, seolah dia
mengerti apa yang aku pikirkan. Aku yakin sahabatku ini juga memikirkan hal
yang sama. Bagaimana pun kami menghabiskan 12 tahun masa SD hingga SMA di
sekolah yang sama.
Cherry dan aku datang bersama ke bekas sekolah kami hari itu karena keperluan
kami masing-masing; Cherry harus melatih anak-anak The Foxes (grup modern dance
sekolahku) yang akan tampil di kejuaraan dance akhir tahun, sementara aku
datang untuk menemani Vany, adikku, menonton sparring tim basket putri
SMP.
“Lu latian sampe jam berapa?” tanyaku pada Cherry sambil keluar dari mobil.
“Jam… 4an gitu lah…” katanya sambil melirik arloji. “Kan latian mulai jam 2.
Basket sampe jam berapa?”
“Mungkin sekitar jam 3… Gapapa ntar pulang bareng aja,” jawabku.
“Hah? Terus sejam…? OOHH!! DASAR LU!” ujar Cherry sambil tertawa dan memukul
lenganku.
“Hahahaha… Udah lama tau ga di sekolah,” jawabku sambil nyengir.
“Ih… Mesum dasar. Belom pernah kan ya sama Vany di sekolah? Dulu sama gue terus
kan lu… Hehehe,” kata Cherry.
“Hehehe makanya…”
Menonton
sparring basket memang bukanlah satu-satunya tujuanku datang ke sekolah ini.
Aku ingin ML dengan Vany di gedung sekolah ini! Aku ingin mengenalkan perasaan
seru dan deg-degannya ML bukan di rumah pada adikku.
“Eh
tapi lu jangan terlalu nafsu lah… Kasian dia lagi hamil gede gitu masih lu
hajar juga…” kata Cherry perlahan saat kami berjalan masuk.
“Iyaa… Lagian dianya yang tambah nafsu tau,” kataku membela diri. Cherry
nyengir.
“Iya sih katanya emang cewek hamil jadi tambah nafsu…”
Ya,
Vany, adikku yang berusia 15 tahun, memang sedang hamil. Vany mengandung
anakku, kakaknya sendiri, dan sekarang kandungannya sudah mencapai bulan
kelima. Sejak bulan Juni yang lalu hubunganku dengannya memang bergeser jauh
dari selayaknya hubungan kakak-adik; mulai dari saling menyentuh tubuh satu
sama lain, hingga akhirnya kami ML berkali-kali sebelum aku pindah untuk kuliah
di Singapore, dan akhirnya Vany hamil (baca episode 5).
Dan entah kenapa, menurutku Vany (yang pada dasarnya sudah sangat seksi untuk
anak seusianya) menjadi jauh lebih seksi saat ia hamil. Perutnya yang buncit
dan mulus selalu merangsangku, dan dadanya yang luar biasa montok dan besar
(34DD sekarang) bisa mengeluarkan susu yang manis sekarang. Selain itu
vaginanya menjadi lebih sempit dan hangat di bagian dalam, di samping pantatnya
yang menjadi semakin montok dan padat. Sungguh luar biasa!
“Hus!
Tuh kan udah ngebayangin… Dasarrrr!” bisik Cherry sambil mencolek bagian tengah
celanaku yang sudah mulai menonjol. “Lu ngapain sama dia tadi pagi?”
Tadi
pagi setelah aku puas meremas dan menyedot susu dari dadanya yang montok,
akhirnya Vany men-titf*ckku dengan nikmat hingga aku meledakkan spermaku
banyak-banyak di wajahnya. Untung ia tidak telambat sampai di sekolah.
“Duh… Susah dijelaskan dengan kata-kata, Cher…” jawabku. Cherry menggelengkan
kepalanya sambil nyengir.
Aku
dan Cherry berjalan memasuki gedung SMA sekolah kami. Saat itu jam pulang
sekolah, sehingga situasi sangat ramai. Setelah menyapa beberapa adik kelas
yang mengenal kami, Cherry bergegas ke arah tangga yang akan membawanya ke
ruang latihan tari.
“Oke
sampe ketemu ntar sore! Inget Dit jangan terlalu nafsu!” ujar Cherry mengatasi
keributan suara anak-anak. Aku melotot memperingatkan, tapi sahabatku ini
nyengir nakal, menjulurkan lidah, dan berjalan menjauh ke arah tangga. Aku
menggelengkan kepala sambil memperhatikannya pergi… Eh? Sepertinya ada yang
berbeda dari Cherry.
Menyadari
aku masih terpaku menatapnya, sahabatku menoleh.
“Hus! Jangan melototin pantat gue terang-terangan gitu ah…” katanya perlahan
sambil kembali berjalan mendekat. Aku tertawa.
“Haha… Nggak lah… Lu… Agak lain deh,” kataku jujur.
“Hm? Lain apanya?”
“Gatau… Lu tambah berat ya?” tanyaku. Cherry mengernyit.
“Eehh kurang ajar ya…!” jawabnya gengsi. Tapi kemudian ia tersenyum… Penuh
arti.
“Koq senyum gitu?”
“Emang ga boleh? Eh udalah gue udah mau telat ini!” ujarnya sambil melirik
arloji lagi. Aku nyengir dan meremas pantat sahabatku yang super montok.
“Yaya… Sampe ketemu ntar sore…”
“Eh nakal ya tangannya!” bisiknya sambil berbalik dan berlari menaiki tangga,
memamerkan pantatnya yang bulat dan besar di balik celana trainingnya yang
merah terang.
Aku tersenyum saat memandangnya pergi… Tapi sungguh, sepertinya ada yang lain
dari Cherry. Hmm… Tak apalah.
Aku
berjalan perlahan ke arah gedung olahraga sekolahku. Aku bisa mendengar suara
decit sepatu para pemain dan sorakan penonton, juga suara debam bola basket
yang didribble oleh para pemain. Pertandingan sudah dimulai rupanya. Gedung
olahraga⎯saat sedang
dilangsungkan pertandingan di dalamnya⎯ selalu terasa panas dan memberi ketegangan
tersendiri saat dimasuki, begitu pula saat ini.
Masuk,
aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari Vany… Tidak sulit. Selain karena perut
buncitnya yang menyembul di balik kemeja putih seragam SMPnya, jumlah
penontonnya sedikit, dan Vany ternyata duduk di dekat bangku cadangan tim
sekolahku. Aku tersenyum. Tentu saja, Vany adalah kapten tim basket putri SMP
sebelum ia hamil.
Raut
muka adikku terlihat sangat serius memperhatikan pertandingan. Aku menoleh ke
papan skor; quarter pertama, 12-10 untuk sekolahku. Ketat. Aku berjalan
mendekat ke arah Vany. Vany begitu berkonsentrasi pada pertandingan hingga
tidak menyadari saat aku duduk di sebelahnya. Aku melambai pada Tasya
(panggilan dari Natasha), adik Grace mantan pacarku dan salah satu sahabat
terbaik adikku, yang menyenggol lengan Vany dan mengangguk ke arahku sambil
tersenyum. Vany tersadar dan menoleh.
“Eehh
Kak… Aku ga nyadar Kakak dateng!” ujarnya riang sambil nyengir.
“Hahaha gapapa… Kamu serius banget ngeliatin anak-anak,” kataku.
“Iya… Musuhnya jadi jago nih,” jawabnya serius, kembali melihat ke lapangan.
Saat itu seorang pemain sekolah lain memblok passing tim sekolahku dan menyetak
angka 3 points. Vany merengut.
“Passingnya.. Aduh… JESSICA KONSEN!!!” Vany meneriaki seorang pemain sekolah
kami yang tidak kukenal. Jessica mengacungkan jempol ke arah kaptennya, tampak
gugup.
“Ini pertama kali dia main dari awal sih…” kata Tasya di sebelah Vany.
“Point Guard ya dia?” tanyaku pada Vany sambil mengamati Jessica, cewek mungil,
kira-kira setinggi adikku, dengan rambut dikuncir ekor kuda. Adikku mengangguk.
“Dia yang gantiin aku jadi point guard. Kelas satu.”
“Erika mana?” tanyaku lagi. Aku kenal Erika; point guard cadangan Vany, kelas
2.
“Keseleo kemaren pas latian,” jawab Tasya.
“… Padahal kalo pas latian keliatan gesit banget loh si Jessica ini,” kata
Vany. Natasha mengangguk, membetulkan kacamatanya.
“Gesitnya sih sama kayak lu, Van, tapi sering ga konsen… Terus belon begitu
berani maennya. Ya masih kelas satu sih… Ntar juga jadi jago,” katanya. Vany
mengangguk setuju. Aku pun menyadari bahwa Jessica bergerak sangat gesit, hanya
⎯ tidak seperti Vany ⎯ operannya masih sering meleset dan mudah
dibaca lawan.
Aku
mengenal beberapa pemain basket tim putri SMP karena mereka adalah teman-teman
adikku. Agnes sang Center bertubuh tinggi besar baru saja mencetak angka.
Kedudukan sekarang 14-13. Aku nyengir menikmati pertandingan ini. Sudah lama
aku tidak menonton pertandingan basket seperti ini. Kulirik Vany yang duduk
tegang di sebelahku… Sepertinya ia sudah lupa bahwa ia sedang hamil 5 bulan.
“Van, santai dikit… Inget kamu lagi hamil ga boleh tegang-tegang,” kataku pelan
padanya. Vany tersadar dan nyengir, mengelus lenganku dengan sayang dan mulai
duduk bersandar ke tembok.
“Hehehe iya kalo udah seru nonton basket gini suka lupa,” katanya sambil
mengelus-elus perutnya yang buncit. Aku merasa penisku mulai tegang, entah
kenapa.
Terdiam,
menonton lagi. Aku memperhatikan adikku… Kemejanya terlihat sangat sempit
menahan dua tonjolan montok dadanya, ditambah dengan perutnya yang buncit
menggiurkan. Aku melihat pundaknya… Hm? Biru muda?
“Van, kamu pake BH biru muda ya…” bisikku perlahan. Vany memukul lenganku
sambil tertawa.
“Koq liat sih? Emang keliatan dari balik baju?” bisiknya balik. Aku mengangguk,
nyengir.
“Yang tadi pagi putih basah ya…”
“Kena susu sama sperma! Kakak sih!” desis Vany sambil mencubit lenganku. Aku
tertawa.
“Kamu seksi, Van…”
“Hus! Kak…”
*
* *
“Tapi
bagaimana pun emang hebat kan anak-anak…”
“Iya sih… Cuma maennya bikin deg-degan tipis- tipis gitu,”
Aku
dan Vany sedang berjalan perlahan menyusuri koridor dari gedung olahraga menuju
ke gedung utama sekolah kami. Pertandingan sudah berakhir, dimenangi oleh SMP
ku dengan skor tipis 38-34. Vany agak bersungut-sungut dengan hasil ini, karena
saat ia bermain dulu SMP kami pernah membantai mereka 60-8. Benar-benar tidak
diberi kesempatan.
“Udalah,
Vann… Jangan bete gitu donk,” ujarku menghiburnya.
“Hmm… Coba aku maen,” katanya. Tiba-tiba ia geli sendiri dengan perkataannya
dan terkikik. “Ga mungkin ya… Hihihi…”
“Dasar…” kataku. Vany menggamit lenganku dan menyenderkan dirinya padaku dengan
sayang. Kami berjalan dalam diam perlahan menyusuri koridor sekolah, menuju ke
lantai empat, ke tempat Cherry latihan dance.
Sambil berjalan, Vany membelai-belai perutnya yang buncit; sungguh entah kenapa
setiap kali aku melihatnya melakukan itu ada rangsangan sangat besar yang
menyerangku. Sembunyi-sembunyi aku membetulkan penisku yang tegang di balik
celana jeansku.
“Kita
pulang sekarang?” tanya adikku setelah beberapa lama. Aku menggeleng.
“Nggak… Nunggu Cherry kelar latian MD,” jawabku. Vany melirik arlojinya.
“Jam?”
“Empat…”
“Loh ini baru jam 3 kurang… Kita ngapain sejam?” tanyanya, polos.
Ketika
itu kami telah sampai di depan kelas kosong di ujung koridor lantai empat yang
dulu sering aku pakai bersama Cherry sebagai tempat kami ML sepulang sekolah.
Saat itu Vany sepertinya mengerti, menatapku yang nyengir sambil menatapnya
dengan tatapan meminta. Vany menggelengkan kepala.
“Dasar
mesumm…” bisiknya. Tapi ia menggandengku masuk ke kelas itu. Aku menutup pintu
di belakangku perlahan. Kelas ini tak memiliki jendela ke arah dalam, hanya ke
arah luar, itu pun agak tinggi di atas, karena ruang ini sebenarnya adalah
bekas gudang yang diubah menjadi kelas. Dan karena terletak di ujung koridor
dan agak jauh dari kelas-kelas yang lain, maka mendesah sekencang apa pun akan
agak susah terdengar.
“Emang
gapapa, Kak di sini? Kalo ketauan orang gimana?” tanyanya. Aku merangkul
adikku.
“Gapapa… Aman koq. Kakak udah pake kelas ini sejak kelas 3 SMP,” jawabku. Vany
terbahak dan memukul lenganku.
“Sama Cherry apa Grace?”
“Pernah dua-duanya,” jawabku tenang. Vany tertawa lagi.
“Lebih sering sama Cherry kan pasti…” bisiknya. Aku tertawa dan mengangguk.
“Cherry lebih heboh,” kataku bercanda.
“Tapi Tasya pernah bilang katanya dulu pas Kakak ML di rumahnya, heboh banget
MLnya sama Grace,” kata Vany. Aku terkejut.
“Natasha juga suka intipin Kakak sama Grace??? Astagah kalian!” ujarku. Vany
terbahak-bahak.
“Kita pengen tau lah, Kaaak…” jawabnya manja. “Ah si Tasya enak tuh udah
bibirnya sama seksinya sama Grace, diajarin langsung lagi. Aku kan cuma belajar
dari ngintip doank.”
“Kamu juga udah hebat koq tapi, Van…” kataku. Vany nyengir.
“Kakak yakin ini aman?” tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk, meyakinkannya.
Vany
tersenyum, berjalan ke arah deretan meja yang ada di tengah ruangan, dan
menyenderkan dirinya ke salah satu meja. Posenya seksi sekali; kedua tangannya
bertumpu ke meja, tersenyum manis sekali padaku. Aku berjalan perlahan ke
arahnya, mendekatkan wajahku hingga berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Aku
bisa merasakan nafasnya yang agak tegang.
“Kakak
tuh… Nafsunya gede banget deh…” bisiknya. Ia membelai wajahku lembut. Kami
berciuman, lembut tapi penuh nafsu. Lidah kami saling berbelit, berdecak
memenuhi ruangan itu.
Perlahan,
jemariku mulai merayap naik, meremas kedua dada adikku yang montok dan penuh
susu, menggosok dan memainkannya dengan nikmat. Aku merasakan desahan mungil
keluar dari mulut Vany, menikmati remasan dan rangsanganku pada dadanya.
“Mmh…
Kak…” desahnya. Tangannya yang mungil merogoh selangkanganku, mengelus tonjolan
keras di baliknya. “Gede banget…”
“Kamu itu yang gede banget…” bisikku, terus menciumi leher kurus adikku sambil
meremas dadanya dengan lembut, beberapa kali mengelus perut buncitnya yang
keras. Vany menggelinjang tiap kali aku menyentuh titik-titik tertentu yang
merangsangnya; benar, adikku ini lebih mudah terangsang saat ia hamil. Apa
semua wanita hamil memang seperti itu?
Aku
menegakkan badanku sedikit. Vany telah terduduk di atas salah satu meja, sedikit
terengah. Tangan kirinya menopang perutnya yang buncit. Saat itu aku melihat
bercak basah pada kemeja putih adikku, tepat pada bagian puting susunya. Aku
nyengir nakal.
“Van…
Kamu baru digituin masa udah keluar susunya?” tanyaku menggodanya.
“Aaa… Kakak kan ngeremesnya heboh… Gimana ga keluar,” jawab Vany sedikit malu.
Aku tersenyum, membuka kancing kemejanya perlahan. Benar saja, BH biru muda
yang dikenakannya telah basah oleh susu.
“Hmmmhhh… Vannnyy… Kamu seksi banget, sayang…” kataku. Kubenamkan wajahku pada
belahan dadanya yang 34 DD itu. Empuk dan lembut sekali. Aku merogoh ke
belakang punggungnya, membuka kancing dan melepas BH adikku.
Aku
mundur dan terdiam sebentar. Tak pernah aku habis pikir bagaimana adikku bisa
memiliki payudara sebagus dan sebesar ini; putih mulus tanpa cacat sedikit pun,
montok dan sungguh bulat menantang. Putingnya coklat kemerahan pun telah sangat
tegang. Sekali lagi, aku membenamkan wajahku dalam keempukannya.
“Aah…
Kak… Jangan buru-buru donk…” desahnya perlahan. Kumainkan kedua putingnya
perlahan-lahan dengan telunjukku, membuatnya semakin kegilaan. Air susu
sesekali menyemprot dan mengalir dari putingnya. Kuremas dada adikku
kencang-kencang sekali lagi hingga susunya benar-benar menyemprot keluar. Vany
menggelinjang dan mendesah setiap kalinya.
“Van… Kamu makhluk paling seksi yang pernah kakak kenal,” bisikku. Vany
tersenyum dan membelai rambutku, mengecup keningku. Ku sedot putingnya
bergantian, meminum susunya dengan nikmat, sementara tanganku membelai perut
hamilnya yang mulus. Penisku terasa berdenyut-denyut, minta dibebaskan dari
bekapan celana dalam yang sempit.
“Mmhh..
Nnhh.. Kaa… K… Jangan nafsu-nafsu minumnya… Ooh…” desah Vany. Lidahku memainkan
kedua putingnya, memelintirnya dan menyedot setiap tetes yang keluar dari
dalamnya. Rupanya Vany tidak tahan dibegitukan.
“Kakk… Kakk… Mmnnnhhh!!!!! Mmmhh!!!”
Sejumlah
besar susu menyemprot ke dalam mulutku. Aku tahu Vany telah mencapai klimaksnya
yang pertama. Tanganku bergerak pelahan mengelus perutnya dan merogoh ke
selangkangannya… Benar saja; celana dalamnya telah basah kuyup.
“Ohh…
K… Kakk…” desah adikku terbata. Aku mengecup bibirnya.
“Lanjut ya, sayang?” kataku. Vany mengangguk, tersenyum.
Ciumanku
bergerak dari bibir ke rahang dan leher adikku, ke kedua dadanya yang super
besar dan lembut, hingga ke atas perutnya yang buncit. Kubelai lembut perut
adikku, mengecupnya sekali lagi dengan sayang.
“Mmh…
Perut kamu gede tapi bagus banget, Van…” kataku. Vany tertawa.
“Kakak demen banget ya sama perutku? Padahal buncit gitu,” katanya imut.
“Seksi tau…” jawabku sungguh-sungguh. Vany nyengir.
“Sini, Kak… Gantian!” Vany turun dari meja dan perlahan berlutut di depanku.
Ia
membuka kancing dan retsleting celana jeansku, membiarkannya jatuh ke lantai.
Penisku yang tegang langsung menyembul keluar dari balik celana dalamku,
mengacung tepat ke wajah adikku. Tanpa aba-aba, Vany langsung menyedotnya
dengan bersemangat.
“Oohh Vann… Astagah.. Pelan-pelann…”
“Mm… Cp… Kakak dabi juga… Mmmhh.. Ga belan-belan… Mmmm… (Kakak tadi juga ga
pelan-pelan)” jawabnya dengan mulut penuh. Kepalanya bergerak maju-mundur
mengulum penisku. Lidahnya bergerak liar menjelajah bagian bawah penisku. Enak
sekali.
“Mmmnnhh… Aahh.. Vann… Vanny…” desahku.
Vany
melepaskan penisku dari mulutnya, membiarkannya jatuh di atas dadanya yang luar
biasa montok dan bulat. Ia mengangkat dadanya dengan kedua belah tangannya dan
mulai menjepit penisku di antara keduanya. Adikku ini memang spesialis titf*ck.
Belum pernah ada cewek lain yang seenak Vany melakukannya.
“Oohh.. Nnghh… Vann… Kamu emang paling enak…” erangku keenakan. Vany nyengir
sambil terus menggerakkan dadanya naik-turun, meremas dan memijat penisku dalam
keempukan dadanya. Rasanya aku memang tak dapat bertahan lama dibeginikan.
“Kalo diginiin gimana, Kak?” goda Vany.
Tangan kiri Vany menekankan perutnya yang buncit ke atas, sementara tangan
kanannya memegang dadanya dan menjepitkannya lebih erat membungkus penisku. Ini
luar biasa; sensasi lembut dan keras perut hamilnya dipadu dengan empuknya dada
adikku yang luar biasa besar. Tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku
maju-mundur, menggosokkan penisku semakin cepat. Aku tak tahan.
“Nggghhh!! V… Vaan… VannnnNN!!!”
Crott…
Crrroootttt…. Cccroottt… Spermaku seolah tak mau berhenti meledak, melumuri
wajah imut adikku dengan cairan kental putih, mengalir turun membasahi dada dan
perutnya juga. Aku merosot bersandar pada meja di belakangku.
“Mmm… Kakak selalu ga tahan kalo digituin,” kata Vany seraya menjilat sisa
sperma di sekitar mulutnya. Ia kembali duduk di atas meja, dan dengan ekspresi
polos Vany mengusap dan meratakan cairan kental yang melumuri perut dan dadanya
yang montok itu, seolah spermaku sejenis krim; pemandangan yang membuat penisku
tak menjadi lemas sedikit pun.
Aku
berdiri perlahan, melumat bibir adikku dengan nafsu, mendorongnya hingga
terlentang di atas meja. Vany tersenyum.
“Ayo,
Kak… Langsung aja…” pintanya lembut. Aku tersenyum dan menurutinya.
Kubuka
kancing rok SMP adikku, membukanya dan membiarkannya merosot ke lantai batu.
Perlahan, aku menarik celana dalamnya yang basah kuyup dan melepasnya. Vany
mengangkat kedua pahanya yang montok dan mengangkang lebar-lebar di depanku.
Aku meletakkan penisku di bibir vaginanya yang tembem dan mulus dengan bulu
yang sangat halus. Perlahan, kumasukkan kepala penisku yang merah padam ke
dalamnya. Vany menggrunjal sedikit.
“Mmhh…
Kakk…” desahnya, menggeliat merasakan batang penis kakaknya perlahan-lahan
memasuki vaginanya yang sempit dan hangat hingga mentok.
Tanpa
menunggu lagi, aku segera menghujam-hujamkan penisku ke dalam tubuh Vany.
Adikku menggeliat, mendesah, mengerang keenakan setiap kali penisku bergerak
masuk, semakin lama semakin cepat.
“Ohh… Nnhhh… Vann.. Vann… Vanny…” kataku berulang-ulang. Vaginanya yang becek
dan lembut benar-benar nikmat membungkus penisku.
“Ahh.. Aaahh… Ahhh Kakk.. Nnggghh!!” Vany mengerang, satu tangan mencengkeram
pundakku, yang lain mengelus perutnya yang buncit.
Kuremas
dadanya kuat-kuat hingga susunya menyemprot, kumainkan puting kirinya yang
sensitif dengan jemariku, membuat Vany memejamkan mata dan menggigit bibir
bawahnya menahan rangsangan.
“Oohh.. Kakk.. Kak aku ga bosen bosen digituin.. Ahhh…” desahnya. Keringat
membanjiri tubuh kami. Gerakan pinggulku semakin cepat menghujam vaginanya.
Nafas kami memburu. Penisku berdenyut-denyut, menghantam-hantam mulut rahimnya
yang sedang mengandung anakku.
“Aaahh.. NNhhh!! Ooh Kakk.. Kakak… Mmmnhh!! Aaahh…” Vany menggeletar, badannya
semakin menegang. Ia mengapitkan kedua kakinya ke pinggangku. Vaginanya
mengencang, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku tahu Vany sudah tak tahan.
“Van… Vann tunggu bentar Kakak juga.. Nnggghh juga udah mau keluarr…”
“Ga ku.. kuattt… Kaaaakk… KKkk… Aaaahhh…!!!”
Vany
orgasme dan squirting berkali-kali kencang sekali hingga aku harus mencabut
penisku dari vaginanya. Tubuh mungil adikku gemetar hebat sekali setelah itu,
tapi aku benar-benar belum puas menikmatinya; padahal tadi sudah tinggal
sedikit lagi aku mencapai klimaksku juga. Tanpa menunggu lama, aku segera
memasukkan lagi penisku ke dalam vaginanya, dan kembali menggenjot adikku
dengan nafsu.
“Aahh..
Hhh.. Kakk.. Kakkk nafs.. nafssuu banget de…hhhH!.. Aaahh pelan-pelan kakk..”
desah Vany tak karuan. Tangannya mencengkeram tepi meja, susu menyemprot dari
putingnya, dadanya yang super besar dan perutnya yang buncit berguncang-guncang
seirama tusukan penisku.
“Mnnhh..
Vann.. Vanny kuarin jurus kamu donk… Nngghh…” pintaku.
Vany mengangguk, wajahnya menegang, berkonsentrasi, dan sebentar kemudian
serangan itu datang! Penisku serasa seperti diserang bergelombang-gelombang
pijatan bertubi-tubi. Ini dia yang kutunggu.
“Oohh… Vaann.. Vannyy!!! VANNN!!!”
Aku
meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Nikmatnya tak dapat
kulukiskan dengan kata-kata. Aku memejamkan mata, menahan nafas, membiarkan
spermaku terus keluar hingga bulir terakhirnya di dalam tubuh Vany.
Kucabut
penisku, dan segera terlihat cairan putih kental yang mengalir perlahan dari
dalam vagina adikku, melumuri anus dan menetes ke meja. Aku merosot, tersengal
mengatur nafas, duduk bersandar pada meja di belakangku. Penisku ngilu rasanya,
tapi seperti biasanya, belum menunjukkan tanda-tanda melemas setelah dua kali
keluar. Tubuhku tak pernah puas menikmati Vany.
Saat
itu Vany turun dari meja, menegakkan dirinya, dan berjongkok persis di depanku.
Vaginanya yang basah kuyup, masih meneteskan spermaku, berada beberapa senti di
atas kepala penisku.
“Lagi, Kak… Aku belom puas… Tanggung jawab…” perintah Vany sambil mendekatkan
wajahnya padaku. Aku tersenyum, melumat bibir mungilnya lembut. Tanganku
merogoh ke pantatnya yang montok, membimbingnya turun.
Vaginanya
membungkus penisku erat saat Vany menurunkan pinggulnya perlahan. Hangat dan
lembut sekali rasanya. Vany mulai bergerak naik-turun perlahan; perutnya yang
buncit dan mulus menggesek perutku setiap kalinya.
“Nnhh.. Mmhh… Vannn.. Enak banget.. Mmhh…” desahku.
Vany
menikmati sekali posisi ini. Ia memejamkan mata, menggigit bibirnya. Tanganku
bergerak, meremas-remas pantatnya yang montok dan padat sambil membantunya
bergerak naik-turun. Dada Vany yang besar menekan dadaku, membuat susunya
mengalir keluar dan membasahiku. Kucium, kujilat leher adikku dengan nafsu.
“Aaahh..
Kakkk… Kenapa posisi ini enak.. Bangett sihh… Nnhhhh” desahnya. Ia mencium
pundak dan leherku, tangannya mencengkeram erat punggung kakaknya.
Aku
mempercepat genjotanku ke dalam vaginanya. Vany mengerang, menekankan kepalanya
ke pundakku.
“Kakk… Kakak… Nnnnnhhh…”
“Mau keluar, Yang??”
Vany mengangguk liar, memelukku semakin erat. Aku dapat merasakan vaginanya
menyempit, menjepit penisku kencang-kencang. Aku menusukkan penisku lebih cepat
dan kuat. Vany menggelengkan kepalanya.
“Mmmmmmmmnn… Nnnnn… NNNHHaaaaaHH!!!”
Dengan lenguhan panjang Vany orgasme untuk ketiga kalinya siang ini. Aku dapat
merasakan cairan vaginanya yang dingin meledak keluar, menyiram penis dan
pahaku. Susunya pun menyemprot banyak membasahi dadaku.
Kucabut
penisku dari vaginanya dan mengarahkannya ke dalam anus adikku. Vany menjerit
kecil ketika penisku menerobos anusnya yang luar biasa sempit dan mulai
menghujam dengan kuat ke dalamnya. Ini enak sekali. Aku merosot hingga tiduran
di lantai, sementara Vany terduduk di atasku, bergerak sesuai irama genjotanku.
Dadanya berguncang-guncang menggiurkan.
“Aaahh…
Ahh Kakk.. Nnhhh… Kakk… Mmhh..” desah Vany sambil mengelus perutnya. Tangan
kirinya meremas dan memainkan dadanya sendiri, menyemprot-nyemprotkan susu
keluar. Kucengkeram pantat Vany. Anusnya sangat ketat menjepit penisku,
membuatku tak bertahan lama.
“Van..
Ohh.. Hhh.. Hhh… Vannn Kakak mau keluarr…”
“Kak… Kakk… Kakk.. Nnhh Nnhhh… Akuu jugga… MMmmhhhHH…”
“Nngghh.. Vann.. Vannyy… Vannyyy!!! VANNNY!!”
Aku
mengerang, tapi Vany ternyata telah mencapai puncaknya terlebih dahulu. Ia
menjerit kencang dan squirting kuat-kuat membasahi pinggang dan pahaku, anusnya
menyempit lagi. Sedetik kemudian aku orgasme, meledakkan spermaku banyak-banyak
ke dalam anus adikku.
Vany
roboh ke atasku, terengah, tersengal. Tubuh kami bersimbah keringat. Penisku
yang telah lemas kucabut dari anusnya, membuat spermaku meleleh keluar dari
dalamnya. Vany berguling turun dan duduk bersandar ke meja di sebelahku,
matanya terpejam; dadanya bergerak naik-turun, berusaha mengatur nafas.
“Hh..
Thanks Van…” bisikku setelah beberapa lama.
Vany mengangguk lemah, lelah.
“Sama-sama…” katanya.
Kami
terdiam. Aku mendudukkan diri, melirik arloji, jam 4.15… Harusnya Cherry sudah
selesai. Aku menoleh ke adikku, perlahan aku meraba dadanya yang besar.
Kudekatkan mulutku ke putingnya dan mulai menyedot susu yang manis dari
dalamnya. Vany nyengir dan mendengus tertawa.
“Kak…
Belum capek apa? Ntar aku jadi terangsang lagi loh…” katanya lembut. Ia
membelai rambutku.
“Mmm… Cuma mau minum koq, Yang…” bisikku. Vany tersenyum. Tanganku mengelus
perutnya, mulus sekali, enak sekali.
Saat
itu tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka perlahan. Hatiku mencelos. Aku
menatap Vany, melihat ketakutan dan keterkejutan yang sama di mata adikku. Kami
membeku di tempat. Panik. Tak akan sempat kami memakai pakaian kami. Langkah
kaki perlahan mendekat, semakin jelas.
“Astagah
Diitt… Udah gue duga lu bakal di sini!!”
Aku
hampir pingsan karena lega. Cherry, sahabatku, berkeringat dan terlihat lelah
tapi senang, berdiri bertolak pinggang di hadapanku dan Vany.
“Duh
Cher… Lu bikin gw jantungan,” ujarku lega. Vany telah tertawa terbahak-bahak di
sebelahku.
“Lagian lu kacau sih… Hai, Van!” kata Cherry geli. Ia melambai ke arah Vany,
yang segera berdiri dan memeluk Cherry erat.
“Apa kabar, Cher??” ujar Vany riang.
“Baik banget… Wah kamu udah gede banget!” kata Cherry sambil menatap perut
adikku. Vany tertawa.
“Iya donk udah 5 bulan… Salahin dia nih!” ujarnya sambil menunjukku. Cherry
tertawa, membelai perut buncit Vany dengan lembut. Heran, koq bisa ga canggung
sama sekali sih?
“Yang ini juga gede banget, Van… Bagi-bagi donk!” ujar Cherry sambil meremas
dada Vany yang memang super besar.
“Eehh!! Cherry!!” seru Vany sambil tertawa dan menghindar.
“Heh.. Udah-udah ayo pulang,” kataku sambil memakai celana dan kaosku lagi.
Vany mengambil sehelai kaos dan celana pendek dari tasnya dan mengenakannya
perlahan.
Kami
bertiga berjalan ke arah tempat parkir. Tiba-tiba Vany nyeletuk.
“Cher, kamu… Agak beda deh,”
“Hm? Beda gimana?”
“Ya kan Cher! Emang gw ngerasa agak ada yang lain dari lu…” ujarku setuju. Vany
mengangguk. Rupanya Vany juga melihat ada sesuatu yang aneh dari Cherry.
Anehnya, sekali lagi Cherry hanya tersenyum simpul penuh arti.
*
* *
Bandara
Internasional Soekarno-Hatta, Terminal 2 Keberangkatan
Sabtu, 3 Januari 2009 – 15.00 WIB.
“Sampe
ketemu, Ma…”
“Ya… Ati-ati ya… Jaga adikmu baik-baik. Bulan depan Mami-Papi kesana.”
Ayah-Ibuku
memeluk dan mencium kedua anaknya. Hari ini aku, Vany, dan Cherry akan
berangkat ke Singapore. Vany akan tinggal di sana bersamaku hingga setelah
melahirkan. Kami melambai dari balik pintu kaca yang memisahkan kami dari Ayah
dan Ibu, dan mulai berjalan perlahan menuju ruang tunggu.
“Hmmm…
Tinggal di luar negri sendirian enak ga, Kak?” tanya Vany, mengenakan baju
terusan warna pink muda ditutupi jaket Adidas putih. Ia berjalan sambil
membelai perutnya yang semakin besar, memasuki bulan keenam sekarang (Aku
berusaha mengalihkan pandanganku. Celanaku terasa menyempit). Kami sudah tahu
bahwa anak yang di dalam kandungan Vany berjenis kelamin perempuan, dan entah
kenapa Vany sangat ingin menamainya Ella.
“Ya ada enaknya ada enggaknya… Tapi kamu kan ga sendirian,” kataku. “Ada
Kakak…”
“Ada aku juga…” ujar Cherry riang. Vany tertawa.
“Hahaha iya sih…”
Kami
berjalan menuju ruang tunggu. Sambil berjalan, aku tak dapat melepaskan
pandanganku dari sahabatku. Sungguh, ada yang lain darinya, tapi aku tak dapat
menemukan apa. Jelas Cherry terlihat agak menggemuk setelah sebulan di Jakarta,
tapi itu wajar karena aku pun menghabiskan sebulan ini untuk makan makanan yang
enak-enak di kota kelahiranku. Apa ya? Apa pantatnya tambah montok? Aku jarang
bertemu dengan sahabatku ini selama sebulan terakhir, karena kami masing-masing
sibuk dengan urusan kami sendiri. Kami bahkan tidak ML sama sekali selama di
Jakarta. Aku menatapnya makin tajam, menyelidiki.
“Heh,
lu ngapain ngeliatin gue sampe kayak gitu?” hardik Cherry.
“Cher… Lu… Seriusan deh ada yang laen. Apa ya?”
Kali
ini Cherry nyengir lebar, nyaris tertawa. Tapi heran sekali, Vany juga ikut
nyengir!
“Ahh
Cherr!! Van! Kalian apaan sih kasi tau donk ada apa!” pintaku tak sabar. Tak
kuduga, Vany yang menjawab.
“Ella kan bakal punya adik, Kak…” ujarnya riang. Aku melonjak kaget.
“HAH?! Hah jangan bercanda kamu, Van!!” aku memelototi sahabatku. “Lu… Lu
hamil??”
Cherry nyengir, mengangguk.
“Udah 3 bulan…” katanya sambil membuka retsleting hoodie tebalnya. Ternyata
benar, memang perutnya terlihat buncit dari balik tank top kuningnya. “… Anak
lu juga, Dit. Pasti.”
“Minggu lalu ke Tante Rina sama aku,” jelas Vany. “Tantenya sampe geleng-geleng
waktu tau ini anak Kakak juga…”
Aku
tak dapat berkata apa-apa. Bagaimana ini? Cherry juga hamil anakku?
“…
3 bulan, Cher?” tanyaku gelagapan. Cherry mengangguk, tersenyum manis seperti
biasanya. Berarti… Berarti sekitar awal-awal aku tahu bahwa adikku juga hamil,
sekitar akhir September. Wah ini kacau!
Tiba-tiba
aku sadar akan suatu keanehan. Sekali lagi aku mengamati perut Cherry yang
buncit.
“Cher,
3 bulan kata lu?”
“Ya. Napa mank?”
“Koq udah segede itu? Waktu Vany hamil 3 bulan gue liat dari webcam belum
begitu keliatan bedanya,” tuntutku.
Cherry
nyengir, Vany tertawa terbahak-bahak. Astagah ada apa?
“…
Kan kembar, Dit…”
“KEMBAR??!!”
Raih Kemenangan Besar Anda Disitus MARIO QQ, Hanya Dengan Modal Rp.10.000 Anda Bisa Menangkan Jackpot Jutaan Rupiah Setiap Harinya !!!
BalasHapus✅ BONUS TURN OVER 0.3%
✅ BONUS REFFERAL 15%
✅ WIN RATE GAME 96,9%
✅ 100% PLAYER Vs PLAYER ( NO ROBOT & ADMIN )
✅ Minimal Deposit Bank : Rp.10.000 (BCA MANDIRI BNI BRI DANAMON)
✅ Minimal Deposit Pulsa : Rp.10.000
✅ Support E-Cash : GOPAY , DANA , OVO , LINK
Berapapun Kemenangan Bosku Pasti Akan Kami Bayar dan Kita Proses Dengan Cepat !!!
Hanya Disitus MARIO QQ Yang Memberikan JACKPOT dan BONUS TURN OVER Yang FANTASTIS Loh !!! Ayo Tunggu Apalagi Buruan Daftarkan dan Mainkan
Langsung Disitus Resmi MARIO QQ Dibawah Ini melalui :
WHATSAPP +62 821-4331-1663
Link Alternatif :
- www.vipmario55. net
- www.vipmario55. org