Yang ini aja...”
“Nggak ah, Kak... Bagusan yang ini tau...”
“Hmm... Masa sih?”
Sore itu aku dan Vany sedang berada di dalam
sebuah toko yang menjual berbagai kartu ucapan di sebuah mall di dekat rumah
kami. Kami sedang memilih kartu ucapan untuk salah seorang teman Vany yang akan
berulang tahun sebentar lagi. Sudah sekitar setengah jam kami berputar-putar di
antara rak-rak yang memamerkan berbagai macam kartu ucapan yang unik dan lucu,
tapi kami masih belum menemukan pilihan yang tepat. Vany menarik sebuah kartu
bergambar anjing kartun lucu yang sedang mendengarkan iPod dari raknya.
“Kalo yang ini?” tanyanya kepadaku.
“Hmm... Boleh juga, sih...” jawabku. “Bisa
diputer-puter, ya?”
“Ya... Lucuu...”
Aku tersenyum, menunduk, mencium ubun-ubun
kepalanya. Vany mendongak, menatapku sambil tersenyum. Ia menyenderkan
kepalanya ke pundakku.
“Luv u, Kak...”
“Luv u too, Van...”
Sambil tetap meletakkan kepalanya di pundakku,
ia kembali melihat-lihat kartu bergambar anjing yang ia ambil tadi. Seolah ia
telah menentukan pilihannya.
“Yang ini aja ya, Kak?”
“Ya... Itu bagus,” jawabku.
Vany nyengir manis sekali, kemudian menggandeng
tanganku ke arah kasir. Setelah membayar, kami keluar dari toko kartu itu,
masih bergandengan tangan. Kami benar-benar menikmati jalan-jalan kami petang
hari itu; kami berjalan perlahan-lahan, sesekali aku memainkan rambutnya yang
pendek-kaku, kemudian menciumnya lembut. Vany membalas dengan tusukan nakal
jari telunjuknya di pinggangku, bermaksud menggelitikku. Kami saling berbagi
candaan dan menggoda satu sama lain, berfoto berdua, pokoknya benar-benar
menyenangkan.
Yap. Seperti itu lah aku dan Vany, adik
perempuanku satu-satunya, sekarang. Mesra sekali. Sejak kejadian malam itu
(saat Belanda akhirnya melibas pasukan tua Italia 3-0—silakan baca episode 1)
kami menjadi sangat dekat. Kami memang sudah memiliki hubungan yang baik
sebelumnya—kami hampir tidak pernah bertengkar—dan kejadian itu sungguh-sungguh
merekatkan kami, layaknya sepasang kekasih.
Sejak kejadian malam itu, kami saling berjanji
untuk tidak mengulangi kegilaan seperti itu lagi... Dan kami berhasil! Kami
menonton pertandingan-pertandingan Euro selanjutnya dengan seru, dan saling
menghormati satu sama lain, menyadari status kami sebagai kakak-adik.
Tapi, aku tidak bisa memungkiri bahwa sejak
malam itu, Vany selalu ada dalam pikiranku. Dan setiap malam, sebelum tidur,
bayangannya lah yang muncul di benakku. Aku tahu aku harus menolak
pikiran-pikiran itu, tapi hasilnya malah pikiran itu muncul semakin menggila
setiap kali aku onani. Setiap kali aku melakukannya, selalu muncul
gambar-gambar kejadian malam itu; bagaimana aku meremas dadanya yang empuk dan
besar, bagaimana putingnya mengeras, bagaimana pahanya yang mulus menjepit dan
menggesek penisku, erangan dan desahan nikmatnya, dan tubuhnya yang tergeletak
lemas berlumuran spermaku tak pernah bisa kuhapus dari pikiranku. Bayangan itu
sungguh efektif dalam merangsangku, begitu efektifnya hingga tak cukup hanya
satu kali keluar saat onani untuk memuaskan nafsuku.
Aku tak tahu apa yang Vany alami setelah malam
itu; apakah dia juga mengalami apa yang aku alami atau tidak, aku tak tahu.
Yang aku tahu, ia semakin sayang pada kakaknya, dan—jujur saja—ia terlihat
semakin sexy sejak malam itu. Seolah dadanya yang besar bertambah besar dan
menonjol menggiurkan, tetapi wajahnya yang imut bertambah imut dan polos.
Ooh... Paradoks seperti itu sungguh menggairahkan!
* * *
Selasa, 17 Juni 2008 – 22.10
“Kaak... Ntar bangunin aku ya kalo udah
mulai...”
“Kamu pasang weker juga lah, Van...”
“Udaah... Tapi takutnya ga bangun... Ya?”
Vany sedang menjulurkan badannya dari balik
pintu tembusan antara kamarku dan kamarnya (kamar kami dihubungkan dengan kamar
mandi), dan memintaku membangunkannya saat pertandingan Italia vs Prancis
berlangsung nanti. Pertandingan ini merupakan pertandingan penentuan, dengan
Belanda yang telah lolos dari grup maut C, posisi kedua diperebutkan Romania,
Italia, dan Prancis. Pemenang laga Italia melawan Prancis akan lolos apabila
Belanda berhasil mengalahkan Romania pada laga terakhir. Jika Romania menang,
maka Romania-lah yang lolos mendampingi Belanda, tak peduli hasil pertandingan
Italia melawan Prancis.
“Oke...” Aku mengangguk, setuju. Aku masih tetap
menghadapi komputerku.
Vany berjalan ke arahku, memelukku dari belakang,
mengecup pipiku.
“Thanks, Kak...” bisiknya lembut.
Aku tersenyum, menoleh menatapnya, dan mencium
hidungnya yang mungil. Vany mengernyit, tapi nyengir setelahnya. Ia mencium
pipiku lagi kemudian berbalik ke arah kamarnya.
Aku mendengar debam pintu ditutup di belakangku.
Cepat-cepat aku mengganti screen komputerku. Aku sedang mengetik cerita tentang
kejadian beberapa malam yang lalu itu. Aku sudah berjanji pada teman-temanku di
melanggar.com/ untuk membagikan cerita ini pada mereka.
Setengah jam berlalu, aku masuk bagian ketiga,
bagian yang paling seru. Sambil mengetik, aku membayangkan apa yang kulakukan
malam itu dengannya. Kupejamkan mataku... Sama seperti sebelumnya,
bayangan-bayangan itu muncul dalam benakku. Jelas sekali... Aku membayangkan
tanganku sedang meremas dadanya yang empuk dan sangat besar, memainkan
putingnya yang semakin lama semakin mengeras dan menegang menggiurkan. Aku
menyenderkan badanku ke kursi, merogohkan tangan ke dalam celanaku. Penisku
sudah mengeras. Pelan-pelan, aku mengocoknya.
Oohh Vany toket kamu gede bangeeet siih...
Penisku semakin tegang dan membesar, kocokanku
semakin keras.
Empuuk... Putingnya keras bangett... Hornya,ya
Van?
Tanganku bergerak semakin cepat.
Bayangan-bayangan semakin jelas.
Oh my God paha kamu ngegesek penis kakak...
Nafasku semakin cepat.
“Aah...”
Astaga, aku bahkan dapat mendengar suara
desahannya dalam benakku.
“Mmmh... Mmm...”
Oh suaranya jelas sekali...
“Mmhh... Ssshhh... Aah...”
Astagaa... Aku akan segera keluaar!!!
Tapi saat itu aku sadar... Bayangan tidak
bersuara! Aku membuka mataku, diam terpaku, mendengarkan...
“Mmmhh...”
Samar-samar, dari kamar sebelah, aku bisa
mendengar suara desahan tertahan. Vany kah? Apa yang sedang dilakukannya?
Mengendap-endap, aku berjingkat ke arah pintu
kamar mandiku, yang menghubungkan kamarku dengan kamarnya. Perlahan, sangat
perlahan, aku membuka pintu kamar mandiku, berusaha tidak mengeluarkan suara
sedikit pun.
“Aahh... Mmmhhh...”
Desahannya semakin terdengar. Aku menjulurkan
kepalaku ke dalam... benar saja; pintu kamar mandi yang menuju ke kamarnya
terbuka sedikit. Mungkin Vany lupa menguncinya malam ini. Aku berjingkat
perlahan ke arah pintu yang terbuka sedikit itu, dan dari celah pintu itu aku
mengintip ke dalam kamar adikku.
Lampu kamarnya telah dimatikan, hanya tersisa
lampu meja yang menyala oranye redup. Vany meringkuk di atas ranjangnya,
tubuhnya yang mungil miring ke kanan, menggeliat-geliat pelan. Tangan kanannya
merogoh bagian depan celana pendeknya, menjangkau vagina dengan tangannya,
sementara tangan kirinya meremas salah satu dadanya yang besar menggiurkan itu.
Vany sedang masturbasi!
“Aahhh... Aaahhh....” desahnya nikmat.
Aku terpana. Tidak pernah sebelumnya aku
berpikir bahwa adikku yang polos dan imut-imut ini juga memiliki pikiran yang
erotis hingga bisa masturbasi. Terdiam sejenak, aku sadar bahwa akulah yang
memasukkan pikiran-pikiran seperti itu dalam benaknya. Jika kejadian malam itu
tak bisa hilang diingatanku—yang telah sering ML apalagi hanya petting seperti
itu—tentunya lebih tidak bisa hilang lagi dalam pikiran Vany yang masih polos
dan baru pertama kali melakukannya. Tersenyum, aku membalikkan badanku,
bermaksud meninggalkan Vany dalam fantasinya. Tapi, baru setengah langkahku
terangkat, aku mendengar sesuatu yang membuatku tertegun.
“Mmmhh... Kak... Kaak...”
Jantungku serasa berhenti. Astaga! Rupanya aku
yang dibayangkannya! Penasaran, aku berbalik, hendak mengintip ke arah kamarnya
lagi, melihat apa yang terjadi. Namun, karena gelap, aku menyenggol tempat
sampah kamar mandi yang terbuat dari besi, sehingga jatuh berkelontangan.
Tanpa melihat pun, aku tahu Vany tertegun di
ranjangnya. Hening mencekikku. Aku dilanda kebingungan, berbalik ke kamarku
sepelan mungkin, atau membereskan dulu tong sampah itu baru berbalik. Sebelum
aku mengambil keputusan, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, lampu menyala.
Vany berdiri di ambang pintu. Tubuhnya berkeringat, wajahnya yang imut diliputi
kecemasan dan terkejut.
“Eh... Kak? Nga... Ngapain?” Vany bertanya
gugup.
“Hah? Oh? Nggak koq nggak ngapa-ngapain... Eh...
Belum tidur?” aku tak kalah gugupnya.
Terdiam. Kami membatu di tempat masing-masing,
menyadari kejanggalan yang terjadi. Vany memberanikan diri bertanya.
“Kakak... Tadi liat aku?”
“Ah? Ah...” Aku gelagapan, tak tahu harus
menjawab apa. “Eh, ya... Lebih ke arah denger sih...”
Terdiam lagi.
“Tadi pintunya agak kebuka sedikit...” lanjutku
sambil mengangguk ke arah pintu yang menuju kamarnya.
“Oh, ya...”
Terdiam lagi. Suasana ini tidak menyenangkan.
Wajah Vany merah padam.
“Mm... Kakak... Denger semua?” suara Vany sangat
pelan hampir berbisik. Aku terdiam, tak mampu menjawab.
“Yah... Ya... Kamu bayangin... Kakak?” tanyaku.
Langsung ke sasaran.
“Hah? Eh...” wajahnya tambah merah padam.
“Yah... I... Ya gitu deh...”
“Oh ya?” jawabku canggung. Tak tahu melanjutkan
ke mana.
“...Yang malem itu...” bisik Vany.
Aku terdiam. Sudah kuduga ia akan memikirkan apa
yang kami buat malam itu. Perasaan bersalah terasa menyakitkan menusuk hatiku.
Kami terdiam, terpaku di tempat masing-masing, bingung harus melakukan apa
selanjutnya.
“Eh... Yah... Yasudah... Kakak tidur dulu?”
kataku gugup.
“Hah? Oh... Ya... Oke... Nanti bangunin aku
ya...” kata Vany, senyum gugup mengembang di bibirnya yang mungil.
Vany membantuku membereskan sampah yang sedikit
berserakan. Aku tersenyum, mengecup keningnya, kemudian berbalik, hendak
kembali ke kamarku, berusaha melupakan apa yang kulihat barusan. Saat itulah
Vany memelukku dari belakang.
“Kak...” bisiknya.
“Ya?” jawabku, berusaha setenang mungkin.
“Kakak... Juga mikirin yang malem itu?” Vany
bertanya takut-takut.
Hening.
“Kak?”
“Ya... Iya...”
Hening lagi.
“Yang pas apa yang kakak bayangin?”
“Heh? Koq nanya kayak gitu?”
Aku mendengarnya tertawa kecil. Vany semakin
mempererat pelukannya. Dadanya yang empuk menekan punggungku, enak sekali...
Aku merasa celana pendekku mulai menyempit.
“Kamu bener-bener kepikiran, ya?” tanyaku. Aku
merasakan anggukan kecil kepalanya.
“Pengen... Lagi...” katanya pelan.
“Heh! Katanya waktu itu jangan lagi... Dosa...” jawabku.
Aku agak geli.
“Iya... Tapi...”
Aku tersenyum, membalikkan badanku. Vany
menunduk, terlihat lesu.
“Hei...” sapaku lembut. Kuangkat dagunya
perlahan. “Ga baek tau kita gitu... Kan kakak-adek... Waktu itu udah janji juga
kan kita ga mau gitu lagi... Ya kan?”
Apa yang kukatakan ini sungguh bertentangan 180
derajat dengan apa yang kurasakan. Penisku yang menegang serasa
berdenyut-denyut di balik celana pendekku. Ingin rasanya aku langsung melumat
bibirnya yang mungil itu dan menghujamkan penisku ke dalam tubuhnya. Tapi,
bagaimana pun, aku kakaknya. Aku tahu itu tidak boleh.
“Iya... Iya sih...” jawabnya, lembut. “Sorry...”
“Hm? Koq sory?”
“Abis... Kan udah janji waktu itu...”
Tidak boleh, dia adikku. Aku terus memberitahu
diriku sendiri. Tapi saat itu aku mataku terantuk pada dadanya yang besar
menantang. Penisku semakin mengeras. Aku menggelengkan kepala.
“Kakak nggak pengen lagi?” tanyanya, polos.
Nggak.
“Yah...”
Bilang nggak pengen.
“Eh...”
Stop.
“Ya... Yah... Jujur sih... Eh...”
Dia adik lu!
“... Ya pengen sih...” Bagaimana pun aku kalah
lagi. Vany mendongak, menatapku. Saat itu wajahnya terlihat imut sekali.
“Karena toketku?” tanya Vany.
“... Iya... Sory...” jawabku lemah.
“Gapapa...” jawabnya. Mukanya merah padam.
“Abis... Gede banget...”
“Segede itu kah?” tanyanya perlahan, kedua
tangan mungilnya memegang dadanya, meremasnya, seolah tak percaya bahwa dadanya
memang sangat besar.
Aku tak tahan lagi. Kupeluk tubuh mungil Vany.
Dadanya yang besar menekan dadaku. Aku mencium bibirnya yang mungil, lembut.
Vany terkejut. Sesaat seolah ia akan meronta melepaskan diri dari pelukanku,
namun detik berikutnya ia telah membalas ciumanku.
Ciuman kami bertambah panas. Lidahku perlahan
masuk ke dalam mulutnya, memainkan lidahnya. Vany cepat belajar rupanya, segera
membelit lidahku dengan lidahnya yang mungil. Decak lidah kami terdengar
menggiurkan di dalam heningnya malam itu. Tanganku merogoh pantatnya,
meremasnya. Baru kali ini aku menyadari pantat Vany juga montok dan tebal. Vany
melepaskan ciuman, mengambil nafas. Benang ludah tipis menghubungkan mulut
kami. Sexy sekali.
“Di kamar aja yuk?” ajaknya.
Aku mengangguk. Kugendong Vany kembali ke
kamarnya, kurebahkan tubuh mungilnya di atas ranjangnya. Perlahan, aku
merebahkan diri di atas tubuh Vany, kembali melumat mulutnya dengan penuh
gairah. Tapi saat itu Vany terbatuk.
“Kenapa?” tanyaku.
“Uhuek... Kakak berat!” katanya terbatuk. Ia
tertawa terbahak-bahak. Tawanya yang renyah justru menambah gairahku. Kami
berciuman lagi. Nafas kami semakin memburu. Aku menurunkan ciumanku ke
rahangnya, kemudian lehernya, perlahan-lahan. Vany mencengkeram rambutku.
“Mmhhh... Jilatin leherku, Kak...”
Aku menurutinya. Aku memutar-mutar lidahku di
lehernya, kucium perlahan, terus berulang-ulang. Vany mengejang.
“Enak?” tanyaku.
“Hmmhh... Iya... Lagi kak...” Vany mendesah.
Kali ini, sambil menjilat dan merangsang
lehernya terus-menerus, tanganku perlahan meremas dadanya yang seempuk bantal.
Rupanya malam ini Vany memakai BH, sehingga tanganku tidak langsung menyentuh
putingnya. Tapi aku merasakan puting Vany telah mengeras seperti malam itu.
“Buka aja kaosnya...” pintanya. Aku mengangguk.
Perlahan, aku mengangkat kaos piyama warna pink itu. Vany mengangkat kedua
lengannya agar bisa kubuka sepenuhnya. Aku tertegun melihat BH warna putih
berenda yang dikenakannya. Baru kali ini aku melihat tubuh adikku seperti ini.
Dadanya yang besar dan bulat terlihat sangat kesulitan ditahan oleh BH itu. Aku
mulai mencium dan menjilat dada Vany, sementara tanganku masih tak puas merasakan
empuk dan kencangnya.
“Emang bener-bener gede, Van...” bisikku. Vany
hanya tersenyum, menggeliat nikmat. Aku meremas dadanya lagi, ragu-ragu apakah
sebaiknya kubuka Bhnya atau tidak. Seolah dapat membaca pikiranku, Vany
bertanya.
“Mau liat?” tanyanya, menggoda.
Tak menunggu disuruh dua kali, kutarik BH itu ke
atas. Dada Vany yang besar berguncang menggiurkan saat terbebas dari
cengkeraman BHnya. Sungguh besar, bulat dan putih mulus sekali, dengan puting
yang masih belum pernah tersentuh tangan pria berwarna coklat muda kemerahan.
Benar dugaanku, putingnya telah ereksi setegang-tegangnya. Dada Vany
benar-benar sempurna.
“Oh my God...” bisikku kagum. “The best...”
“Hehehe... Berisik... Ayo cepet...” katanya.
Aku membenamkan wajahku di antara kedua payudaranya.
Empuk, lembut sekali. Sensasi kenyalnya dada Vany membuatku sungguh terangsang.
Dada Vany sungguh penuh membungkus wajahku. Aku bergeser. Jemariku memainkan
putingnya yang telah tegak berdiri.
“Aaahh... Kakk... MMhhh...” Vany mendesah
nikmat. Kujilat dan kusedot puting kanannya, sementara tangan kananku meremas
dada kirinya. Kemudian berganti, puting kirinya kusedot dan kujilat perlahan,
sementara puting kanannya kumainkan dengan jemariku; kucubit dan kuputar.
“Aaahh... Aaahh... Ka...K... Pelan... Pelaan...
Mmmhhh!!”
Aku menyadari Vany lebih terangsang saat puting
kirinya kujilat. Rupanya Vany lebih sensitif di puting kiri.
“Kamu lebih suka di sini ya?” godaku sambil
menggigit perlahan puting kirinya.
“AAAHH... Aah!! IYA! Ooh... Mmmhhh... Jangan
digigiitt... Mm!!” Vany mendesah keenakan. Tubuhnya menggeliat-geliat.
Tangannya mencengkeram seprei. Sambil melepas celana pendeknya, aku semakin
liar memainkan dadanya yang besar menggiurkan. Kuputar-putar lidahku di kedua
putingnya bergantian. Vany tak tahan.
“OOH... Kaakk... Ka... Kalo gitu terus... Aku...
Aaahh... Mmhh... Kk...”
“Mau keluar?” tanyaku sambil terus meremas dan
menjilat dadanya. Vany mengangguk panik. Aku nyengir nakal. Puting kirinya
kujilat sangat perlahan, sementara tangan kananku merogoh selangkangannya.
Sudah basah kuyup.
“AaaahhhHH....!!! Kaaakkkk!!!”
Sslllrrssshhhhhhh... Vany mengejang, mengangkat
pinggulnya, menyemprotkan cairannya banyak-banyak, membasahi tanganku. Ia
terkulai lemas.
“Kenapa kamu? Belon diapa-apain udah squirting
gitu?” godaku.
“Hhh... Hh... Enak aja blon diapa... apain...
Hh...” jawabnya, terengah-engah. Aku tertawa pelan.
“Masih kuat?”
Ia mengangguk, tersenyum.
“Kakak nakal...” bisiknya. Aku nyengir dan
kembali membenamkan kepalaku kedalam bekapan dadanya. Benar-benar enak sekali.
“Mmm... Vnn... Nnii subber bngeddd...(Mmm... Van
ini super banget)” kataku dalam bekapan dadanya. Vany tertawa geli. Kedua
tangannya meremas dadanya, menekankannya ke arah wajahku, sehingga semakin
membekap wajahku. Saat itu ide gila melintas di benakku.
“Van, kamu tau titf*ck?” tanyaku.
“Apa tuh?”
“Itu... Gini...” Aku berdiri, membuka celanaku.
Penisku yang tegak berdiri mengacung ke arahnya. Vany melotot memandang
penisku.
“Mau diapain, Kak?” tanya Vany.
“Kayak tadi...” Dengan lembut aku berlutut,
mengangkang melewati perutnya. Kuletakkan penisku di antara dadanya yang lembut
itu. Vany mengerti.
“Ooohh... Iya iya!” katanya, mengangguk-angguk.
Vany memegang kedua dadanya yang besar, kemudian menjepit penisku di antaranya.
Luar biasa!
“Aaahh!!! Vaan... Ini enak banget!!”
“Enak??” tanyanya.
Tangan Vany meremas-remas, memijat-mijat
dadanya. Sensasi empuk dan kencang membungkus penisku. Dadanya sungguh besar
hingga yang terlihat hanya kepala penisku yang berwarna merah. Rasanya berdenyut-denyut
di antara jepitan lembut dadanya.
“Van, dikocok deh... Mmmhhh... Pelan-pelan,”
pintaku.
“Oke...” Vany menggerakkan dadanya naik turun
bersama-sama, perlahan. Aku tak dapat melukiskan kenikmatannya dengan
kata-kata. Kemudian ia menggerakkan dadanya bergantian,
kiri-kanan-kiri-kanan... Benar-benar luar biasa!
“Ooohh... Mmmmhhh... Vaann... Sambil dijilat...
Kepalanya...”
Vany menunduk, menjilat kepala penisku. Aku rasa
batasku sudah semakin dekat. Seolah mengerti pikiranku, Vany berkata.
“Keluarin aja, Kak... Semprot yang banyak!”
bisiknya.
“Okee... Mmmhh... Ben... Bentar laggii...
Aaahhh....”
Vany semakin cepat menggerakkan dadanya
naik-turun, ia juga mengencangkan jepitannya, tapi jilatannya tetap pelan dan
lembut. Aku sudah tak tahan lagi!
“VAAN... Kakak.... MMMMmmmhHHH!!!!”
Crooottt... Crroooottt... Crrroooottt....
Penisku meledakkan sperma kuat-kuat berkali-kali ke wajah imut Vany. Vany
memejamkan mata dan menutup mulut rapat-rapat. Aku terus menyemprot hingga
hampir seluruh wajah dan dadanya yang besar berlumuran cairan putih kental itu.
Vany membuka mata, menjilat sperma sekitar
mulutnya. Cairan putih menetes dari daun telinga, juga poni rambutnya. Wajah
polosnya benar-benar belepotan sekarang. Aku mengangkat penisku dari dadanya,
masih tegang, sama seperti waktu itu. Rupanya memang tidak cukup hanya sekali
untuk memuaskan nafsuku.
“Oke... Sekarang giliran kamu lagi...” kataku.
Aku menunduk ke arah selangkangannya. Kubuka
tungkai Vany hingga mengangkang sempurna. Celana dalamnya basah kuyup. Aku
menjulurkan jari telunjukku untuk menyentuh vaginanya. Perlahan, kugerakkan
naik-turun telunjukku di bibir vaginanya.
“Mmm... Mmhhh... Kaak...” desahnya pelan. Aku
menusukkan telunjukku lembut lebih kedalam. Vany menjengit. “Lagi, Kak...”
“Tunggu...” Perlahan, kubuka celana dalamnya
yang berwarna putih. Vagina Vany masih belum berbulu, hanya rambut-rambut
sangat tipis yang tumbuh sedikit di sekitar bibir vaginanya. Bentuknya pun
indah, tembem. Klitoris Vany sudah menonjol keluar. Cairan bening mengalir dari
dalam vaginanya.
“Wow... Kenapa badanmu sempurna gini sih?”
bisikku menggodanya.
“Apaan sih kakak...” kata Vany.
Tanpa berlama-lama, aku langsung mencium
vaginanya. Vany mengejang, menggeliat setiap kali aku menyentuh klitorisnya
dengan bibirku. Harum segar sekali baunya.
“Aahh... Kaakk... AaaaHH... Aa...” desah Vany.
Aku menjulurkan lidah, kujilat bibir vaginanya yang tembem. Vany menggeliat
semakin kuat, mencengkeram kepalaku. Aku meremas pantatnya perlahan-lahan
sambil terus menjilati vaginanya.
“Kaakk... Kakakk... Oohh... Mmmhhh... Yess...”
Vany mendesah. Nafasnya berat, tak beraturan. Kujulurkan lidahku lebih dalam,
kali ini menjangkau bagian dalam vaginanya. Vany mendesah dan mendesis tak
karuan, pinggulnya menegang. Aku melirik ke atas, tangan kanannya sedang
meremas dadanya yang besar, memainkan puting kirinya yang sensitif. Kugigit
lembut klitoris adikku.
“MMM!!! Kaaakkk!!! Keluaaarrrr!!! Aaaahhh...
AAAAHH!!!”
Sebelum aku sadar, Vany telah menyemprotkan
cairannya ke wajahku. Semprotannya kencang sekali. Untung saja aku sempat
memejamkan mata dan menahan nafas. Belum sempat aku mengambil nafas, Vany telah
menyemprotkan orgasmenya yang kedua. Lebih banyak kali ini.
“Oohh... Oohh... Mmhhh... Hhh... Hhhh...” Vany
terengah-engah tak karuan. Dadanya bergerak naik-turun, mengatur nafas. Aku
membenamkan wajahku di dalam selimut, berusaha mengeringkannya. Vany tertawa
geli melihat kakaknya basah kuyup.
“Apa kamu ketawa-ketawa...” ujarku. Geli juga
sih...
“Hahahaha... Emang aku nyemprotnya sampe
segitunya? Hahaha...” katanya geli.
“Hehe... Abis kamu tiba-tiba gitu... Dua kali,
lagi...” kataku, akhirnya ikut tertawa.
“Kan aku udah bilang tadi...” jawabnya. Vany
terkulai lemah di ranjang, tapi matanya berbinar senang.
“Hehehe... Nakal kamu...” bisikku. Aku
merebahkan diri di atas adikku, kemudian melumat bibirnya yang mungil itu
dengan sayang. Penisku masih tegang sekali, agak menyentuh vaginanya. Vany
berjengit, melepaskan ciuman.
“Kak... Masih tegang, ya?” tanyanya polos. Aku
mengangguk.
“Kamu sexy banget sih... Jadi tegang terus...”
aku berbisik menggodanya.
“Mau disedot?” tawar Vany sambil tersenyum.
“Heh? Emang kamu bisa?” tanyaku, agak terkejut.
“Bisa... Waktu itu kan pernah ngintip Kakak lagi
disedot Kak Grace...” jawabnya, meyakinkanku. Grace itu pacarku. “... Eh... Apa
namanya... Oral?”
“Ya... Oral,” kataku membenarkannya. “Nakal ya
kamu ngintip-ngintip orang!”
Vany nyengir jahil. Ia mendorongku. Aku
berguling ke sisinya, terlentang. Vany bangkit dan membungkuk di atas kakiku,
kepalanya menghadap penisku yang tegak berdiri.
“Mulai... Eh... Mulai dari sini kan ya?”
tanyanya ragu-ragu sambil menjulurkan tangannya yang mungil untuk menggenggam
penisku. Aku mengangguk. Perlahan, Vany mengocok penisku. Aku tahu ia masih
takut-takut.
“Mmhh... Enak gitu Van... NnhHh.. Teruss....
Betul... Mhh...” desahku.
Lama-kelamaan Vany semakin yakin dan terbiasa
dengan penisku. Kocokkannya semakin mantap. Tak lama kemudian, ia mendekatkan
bibirnya ke kepala penisku, menjulurkan lidahnya untuk menjilat. Perlahan-lahan,
ia menjilati kepala penisku. Enak sekali.
“Aahh... Ji... Jilat batangnya juga, Sayang...
Mmhh...”
Vany menurut. Ia menjilati batang penisku dengan
bersemangat. Lama-kelamaan jilatannya semakin berani. Vany memutar-mutar
lidahnya di sepanjang penisku.
“Slllrpp... Mmahh... Kaka... Enaa...k...
Sllrpp?” tanyanya sambil terus menjilat. Aku mengangguk, memejamkan mata,
berusaha menahan agar tidak orgasme terlalu cepat. Tiba-tiba, Vany berhenti
menjilatiku. Ia menegakkan tubuhnya, seolah bersiap-siap.
“Abis itu... Gini... Ya...?” Ia membungkuk,
memasukkan penisku ke dalam mulutnya yang mungil. Vany harus membuka mulutnya
lebar-lebar agar penisku bisa masuk semua. Rasanya luar biasa!
“Mmhh... Ccpp... Bunya... Kak... Gdee... Mmm...
Cppp... B... Nget... Puah... Sampe susah nyedotnya...” katanya. Aku tertawa. Ia
kembali menyedot penisku, perlahan-lahan. Kepalanya bergerak naik-turun. Di
dalam, lidahnya memainkan bagian bawah batang penisku. Ia melakukannya
benar-benar seperti sudah profesional.
“Kamu... Mmmhh... Ngintipnya... Sampe kayak
gimana... Mmmhhh... Waktu itu?” tanyaku. Tekniknya memang mirip dengan Grace.
“Dari... Mmmh... Slllrpp... Aw...al... Cppp...
Mmmm... Sppp... Samp...e... Abiss... Cpp...” jawabnya terpatah-patah. Pantas
saja...
Vany semakin cepat menggerakkan kepalanya
naik-turun. Rongga mulutnya yang kecil menjepit penisku pas sekali, dan
lidahnya yang menggeliat-geliat di bagian bawah penisku sungguh membuatku tak
berdaya. Aku tak yakin apakah aku mampu bertahan lebih lama lagi.
“Van... Oohh... Kaka...K... Mmhhh... Aaahh...
Mau keluar nih... Aahh.. Kayaknya...”
Vany tidak memedulikanku. Ia menggerakkan
kepalanya semakin cepat, kemudian menyedot penisku kuat-kuat sebelum melumatnya
hingga ke pangkal. Aku benar-benar tak tahan.
“Vaann... Nnn... MMmhhhh... Uu... Udah...
Dikasi.. Tau... Lo... OOOHHH!!!!! AAAAHH!!” sebelum kalimatku selesai, Vany
menyedot kuat sekali lagi, dan aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam
mulutnya.
“Aahhh... Aaa... AAAHH!!! Mmmhh... OoooH!!!”
desahku setiap kali penisku menembakkan cairan ke dalam mulut adikku. Vany
terus mempertahankan penisku di dalam mulutnya. Cairan putih kental mengalir
keluar dari balik bibirnya. Rongga mulutnya yang mungil tak mampu menahan
sperma kakaknya yang menyemprot berkali-kali banyak-banyak.
Aku menghela nafas panjang saat akhirnya
selesai. Vany merangkak, merebahkan diri di sisiku, mencium pipiku. Aku menoleh
dan melumat bibirnya yang belepotan spermaku. Kami saling membelit lidah. Tak
memikirkan betapa hubungan ini sebenarnya terlarang.
“Kak...” katanya lembut.
“Ya?”
“Thanks...”
“Hahaha sekarang kamu yang bilang thanks...”
“Iya donk... Kakak enak banget...”
“Kamu juga...”
Kami terdiam. Aku memejamkan mata. Lelah sekali
rasanya. Vany memeluk lenganku. Dadanya yang montok menekan, tapi kali ini aku
sudah terlalu lelah.
“Kak...”
”Hmm?”
“Enak mana... Sama Kak Grace?” tanya Vany.
“Oralnya?”
“He-eh...”
“Enak kamu...”
“Bohoooonnnggg...!!” ujarnya. Aku tertawa.
“Hahaha.. Iya deehh... Enakan Grace...” kataku.
“Jangan dibandingin donk... Dia bibirnya sexy tebel gitu...”
“Hehehe...” Vany terkekeh.
Terdiam lagi. Apa yang bakal Grace bilang kalo
dia tau pacarnya punya hubungan intim dengan adik kandung sendiri?
“Kak...”
“Hm?”
“Lain kali...”
“...Jangan lagi?” aku memotong ucapannya.
“Nggak...” katanya, tersipu. “... Lain kali lagi
yuk...”
Aku tertawa. Adikku parah sekali rupanya.
“Besok jalan yuk...” ajak Vany.
“Besok Kakak ada janji sama Cherry,” kataku.
Cherry ini sahabatku sejak SD.
“... Mau anal ya?” bisiknya jahil.
“Heehh??? Koq gituuu...??”
“Kan Kakak sering anal sama dia... Aku tau
aja...”
“... APAA???”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar